SHDN_LOGIP

SHDN-2012

SHDN-2012

19 Des 2011

Tawur Agung Ekadasa Rudra 1963


Ekadasa Rudra menjadi upacara agama umat Hindu terbesar. Karena itu harus dilakukan dipura terbesar dan sementara ini menurut catatan sejarah yang ada baru hanya pernah dilakukan di Pura Besakih.

Bencana alam dan sosial diacu sebagai pertimbangan untuk perlunya penyelenggaraan upacara ini. Tetapi memiliki batasan penggunaan acuan tersebut dengan penetapan waktu yang berdasarkan setiap sepuluh atau seratus tahun atau bahkan ada sebagian pendapat yang memandang tanpa adanya interval waktu, dengan mengacu pada perlunya penyelanggaraan bila telah terjadi bencana besar, berkepanjangan dan memakan korban dan kerugian sangat besar.

Ritual ini dikenal dengan nama Eka Dasa Rudra (pemujaan terhadap 11 Kala Rudra, yang menguasai bhuta/kala di setiap arah penjuru angin). Tujuan ritual ini adalah memohon keseimbangan jagat dengan tujuan untuk menjauhkan manusia dari bencana dan memberikan kesejahteraan.

Eka Dasa Rudra adalah serangkaian upacara besar yang memakan waktu lebih dari 2 bulan untuk menuntaskannya. Dari rangkaian ritual tersebut yang menjadi bagian terpenting adalah Tawur Eka Dasa Rudra, dalam konteks ini Yadnya/bhakti (sesaji) ditujukan kepada kesebelas butha wujud Kala Rudra ~ bukan untuk pemujaan pada Hyang Rudra, agar tidak mengganggu keseimbangan alam.

Meskipun Ritual Eka Dasa Rudra sudah ada diperkenalkan pada jaman sejarah kerajaan Bali Kuna, upacara ini kembali ditata ulang oleh Danghyang Nirartha pada masa kebudayaan Majapahit di Bali, di saat berkuasanya Dalem Waturenggong, raja kerajaan Gelgel.

Pada masa-masa penjajahan, upacara ini tidak dapat dilaksanakan, pada saat menjelang pra-letusan gunung Agung ditahun 1963 (dengan status Siaga), atas pertimbangan para tokoh Hindu saat itu, Presiden Soekarno menyetujui agar diadakan upacara tawur Eka Dasa Rudra agar keseimbangan jagat dapat kembali dipulihkan. Maka upacara ini dilaksanakan kembali meskipun bersamaan dengan meningkatnya dari status Siaga 1 menjadi status Awas dari kondisi keaktifan terakhir Gunung Agung pada awal tahun 1963 itu. Karena kondisi Gunung Agung yang bisa membahayakan umat, maka beberapa tingkatan ritual dan pelaksanaannya ada beberapa hal yang tidak bisa dilakukan sepenuhnya dan lokasi persembahyanganpun berpindah tempat ke Menanga.

Upacara agung Ekadasa Rudra pada tahun 1963 itu lebih sebagai karya paneregteg atau karya dengan maksud penebusan, yaitu upacara yadnya yang diselenggarakan karena telah cukup lama karya tersebut tak digelar, karena karya yang mestinya diadakan 100 tahun sekali pada saat tahun Saka berakhir 00 atau rah windhu tenggek windhu, sudah cukup lama tidak dilaksanakan.

Pada Tilem Caitra Saka 1900 tepatnya bulan Maret 1979, Karya Agung Ekadasa Rudra digelar sesuai dengan petunjuk Lontar 'Indik Ngekadasa Rudra' -- (Lontar Ngeka Dasa Rudra, Geriya Taman Intaran Sanur)menyebutkan : Ngadasa tahun amanca wali Krama ring Basukih; puput panca Wali Krama ping 10 mewasta windu turas, nga. Ring kaping solasniya wawu ngeka dasa rudra rah windu, tenggek windu. Disuratkan dalam lontar itu, ketika tahun Saka berakhir dengan dua windhu (00) disebut windhu turas, besar sekali terjadinya perubahan alam (jagat). Yang dijadikan pegangan dalam menyelenggarakan upacara tersebut, yaitu diselenggarakan pada tahun Saka berakhir dengan windhu turas atau rah windhu tenggek windhu.

Artinya, saat itu sudah mulainya diberlakukan hitungan menurut tatanan waktu yang ditentukan dan menjdai kewajiban untuk diteruskan pelaksanaannya sesuai interval waktu tersebut dimasa-masa mendatang. Maka saat itu dipakai atau dipilih melaksanakan tawur-jagat di Bali yakni setiap sepuluh tahun disebut Panca Bali Krama, setelah Panca Bali Krama sepuluh kali disebut windhu turas (rah windhu tengek windhu atau 00), barulah mengadakan Ekadasa Rudra.

Diantara sumber-sumber tersebut antara lain :.

Purana Pura Agung Besakih, yang tidak menyinggung periode pelaksanaannya, hanya menguraikan tentang rincian upakaranya yang sedikit berbeda dalam hal binatang korban yang dipergunakan bila dibandingkan dengan sumber-sumber lainnya.

Lontar Widhi Sastraning Taur Eka Dasa Rudra, dari Wanasari Tabanan, menuliskan :
”Huwusning Eka Dasa Rudra patawurakena Bhuta Panca Wali Krama, gaweya sanggar 5, tekaning panggungan panca desa. Wusning mangkana patawurakena Tri Bhuwana, ngaran, patawurakena Gurunya. Sanggar Tawang sanunggal panggungan sawiji. Mangkana yogyaniya gelarakena de sang rumakseng praja mandala, lawan para wiku Aji, sang sampun kreta yaseng yadnya sinanggah Weda Paraga."

Lontar Eka Dasa Rudra, Geriya Lod Rurung Riyang Gede, menuliskan :
"Wusni Eka dasa Rudra, patawurakna Bhuta Panca Wali Krama, lwire amanca desa, pur, da, pas, u, ma. Telasning mangkana Tri Bhuwana, angadegaken sanggar tawang tiga saha panggungan siji sowang, u, ma, da. Wus mangkana patawurakna Gurudya."

Lontar Bhama Kretih, menuliskan :
”Wusning Eka Dasa Rudra patawurakna bhuta Panca Wali Krama, lwire amanca desa, marep pur, da, pas, u, ma,. I Tlas mangkana muwah patawurakena Tri Bhuwana angadegaken sanggar tawang 3, saha panggungan siji sowang, u, ma, da,. Wus mangkana malih patawurakena Guruniya sanggar tawang 1."

Tampaknya Ekadasa Rudra akan tetap dipertahankan dengan interval waktu setelah sepuluh kali upacara Panca Walikrama (Bali Krama).

-Sumber:
-PHDI; 'Pamahayu Jagat'04 Maret 2009
-David J.Suart-Fox ; Pura Besakih; Pura, agama dan Masyarakat Bali, 2010
-Yayasan Mertasari Rempoa