SHDN_LOGIP

SHDN-2012

SHDN-2012

20 Des 2011

Misteri Ajaran Padmasana Danghyang Nirartha


“Apakah Sang Empu seorang pandita dari Majapahit?” Tanya Paduka Dalem Waturenggong.

“Benar Paduka Dalem, beliau keturunan Danghyang Smaranatha yang juga keturunan Empu Bharadah” ucap Kiyai Dauh beberapa bulan sebelum diperintahkan Paduka Dalem menjemput Danghyang Nirartha ke desa Mas dan mengundang singgah ke istananya.

“Keturunannya Danghyang Smaranatha? Sungguhkah? Bagaimana rupanya?” Lagi Paduka Dalem Waturenggong tertarik lebih mendalam.

“Beliau bertutur kata, setelah belajar lama di Rabut Palah, dirinya pun memiliki titah Candi Palah memperbaiki perkembangan agama, juga bercita-cita mengubah pemujaan siwa dari arca-arca dan mandir dengan menambah Padmasana didalam sanggah pemrajan juga di pura-pura lainnya, Padmasana digunakan untuk memuja Sanghyang Widhi Wasa”

“Apa itu Padmasana? Apakah sama dengan Lingga-Yoni yang ditanah Jawa?” Tanyanya lagi

“Menurut tuturan dari orang-orang di Gading Wangi, Sang Empu berucap bahwa Padmasana bukanlah sebuah bongkahan batu, arca atau mandir yang digunakan banyak orang dalam manembah. Adalah plinggih suci untuk men-stana-kan Sanghyang Widhi Wasa sebagai simbolis Buwana Agung, sehingga kedudukannya dapat memperjelas antara plinggih pemujaan untuk keberadaan Sanghyang Widhi Wasa dan plinggih untuk roh suci leluhur.
Serupa tugu meninggi berbentuk kursi kosong yang disamakan dengan tahta tertinggi simbolisme Tuhan yang tak berwujud, juga kekuasaan-Nya yang tak dapat dibatasi, karenanya dimaknai kosong (tanpa wujud) dan tak terlihat (tanpa batas). Kegunaannya adalah merupakan pancaran semua aura cahaya suci dan mulia, membangkitkan kesadaran tertinggi untuk memuja-Nya secara utuh, artinya hanya Padmasanalah yang dipuja tertinggi dibanding tugu, gedong, arca maupun mandir apapun. Begitulah yang hamba ketahui, Paduka” jelas Kiyai Dauh.

Ketika berada di Bukit Mpulaki, Sang Empu mengingat apa yang telah dititahkan Danghyang Palah silam mencari goa yang dimaksudkannya untuk mendapatkan wahyu yang akan diembannya kelak. “Irika guha ta dunung kang tinuju…”gumamnya.

Bertemulah dirinya dengan sebuah goa yang teramat sunyi, beliau masuk hingga kedalamnya dan terhuyung diantara tanah berlumpur kotoran kelelawar, hingga wajah dan badannya kehitaman seakan tertutup lumpur, tak kuasa bangun hingga langsung tak sadarkan diri. Selama beliau tak sadarkan diri, merasakan dimimpikan bertemu seekor naga besar yang membukakan mulutnya, sehingga dirinya masuk kedalam mulutnya dan berjalan keujung lidahnya, terlihatlah sebuah bayangan cahya putih yang menyebabkan beliau terkesima, dilihatnya cahya itu seakan menyerupai sekuntum bunga kumuda (teratai putih) yang sangat rupawan memikat hatinya, seakan cahya putih yang datang dari Yang Maha Pencipta.

Seketika terbangun dirinya, kembali menelusuri dalamnya goa hingga bermuara pada gumuk lebar menganga dan bermata air ditengahnya. Dirinya terantuk kedalam sumber air dan jatuh terduduk ditengah hingga lagi tak kuasa bangun. Lalu sekonyong mengambil sikap tangan seperti bunga kumuda hingga bersamadhi mencapai hening. Pancaran dalam mimpi sebelumnya laksana menjadi nyata dalam heningnya, bunga kumuda memperlambang keberadaan Hyang Widhi telah menyatu didalam dirinya sendiri. Itulah Atman yang bercahyakan Brahman.

Sang Empu menyatakan hanya butuh sikap sederhana untuk mencapai perwujudan-Nya dalam cahya yang menyinari jiwa kita sendiri, mengikis adharma dan mempertebal dharma dalam diri. Cukuplah sudah kita mengambil banyak simbolisme atau paham-paham yang membuat kita melebar jauh dalam tradisi beragama, sehingga keberadaan-Nya yang Maha Utama tertutupi oleh berbagai pemujaan (ritual) manifestasi-Nya. Kelak anak-cucu kita akan lebih meyakini manifestasi-Nya (memperkaya ritual dan persembahannya) ketimbang merasakan adanya Brahman dalam diri (memperkaya budhi, tatwa dan susilanya).

Begitulah penuturan Danghyang Nirartha akan pentingnya mengutamakan pemujaan kepada Sanghyang Widhi Wasa. Dengan tanpa menenggelamkan tradisi adat yang sudah mengagamakan umat Hindu di Jawa maupun di Bali. Beliau justru terus berusaha menyederhanakan tradisi adat menjadi lebih mengutamakan perannya untuk memperkaya rasa rumangsa kita pada Batara Sinuhun Hyang Tunggal (Tuhan Yang Maha Esa) melalui adanya Padmasana.

Seakan dirinya berisyarat “Mana yang didahulukan? Persembahan apapun, hendaknya IA yang diutamakan”. Dengan demikian kita tak akan pernah melenceng dari-Nya.

Paduka Dalem Waturenggong turut menyadarkan dirinya sendiri pada pandangan sang guru Danghyang Nirartha, tegas mengelak bila roh dalam kematiannya nanti distanakan layaknya dewa sebagaimana tradisi kematian raja-raja di Singasari maupun Majapahit, karena Padmasana yang diajarkan padanya telah mempertebal keyakinan dirinya terhadap adanya kekuasaan yang lebih tinggi dari hanya seorang keturunan raja bahkan leluhur yang telah didewakan.

“ Iti aran Padmasana yeku Sang Hyang Widhi Wasa apan sedhengah akang gumelar tan hana kang kawawa endha denira” ujarnya mantap menyatakan sebutan Padmasana sebagai simbolisme Tuhan Yang Maha Kuasa, sebab segala apapun yang terhampar dibumi ini tidak akan terlepas dari hukum-Nya.

Kehadiran Danghyang Nirartha ratusan tahun silam, mutlak kita pertajam ajaran konsep pemikirannya tentang Padmasana, mutlak rasanya diwacanakan dan didharmakan umat Hindu Nusantara. Dan kini Padmasana sudah ada dimana-mana, bukti kita sudah melakukan sembah rasa bhakti pada-Sang Hyang Widhi Wasa dan mengisyaratkan keberadaan-Nya yang dekat dengan kita, dirumah kita dan didalam diri kita sendiri.

“Ajwa salah panampa sun prapta arsa bineneraken lakunira ikang sasar mogha walik dadi hayu labda smirta ika” (Janganlah salah arti, saya datang justru akan meluruskan perbuatanmu yang keliru semoga dapat kembali sadar dan baik) ungkapan tegas Danghyang Nirartha wujud wahyu Yang Maha Kuasa, mengabarkan umat tentang kemurnian meyakini keberadaan Roh-Nya yang mutlak juga tunggal tanpa dikaitkan nama-nama manifestasi apapun dan diutamakan juga didahulukan dari persembahan dan pemujaan apapun.

Meski Diri-Nya adalah Mahadewa sebagaimana Brahma, Wisnu dan Siwa tetaplah kesatuan bagi-Nya dan tunggal pengertiannya dalam wujud Padmasana (singgasana Sang Buwana Agung). Ini menegaskan tiada perbedaan bagi-Nya apalagi perbedaan nama dewa, sekte, warna atau kasta yang dianut manusia sendiri adalah sama (tiada yang dibedakan) dihadapan Padmasana-Nya.

Oleh karenanya Padmasana bukan diklaim untuk manifestasi-Nya, karena kursi-Nya (tahta kekuasaan-Nya) bukan untuk diduduki manifestasi-Nya. Padmasana ditujukan untuk keberadaan yang realitas Ada (kursi-Nya) Hyang Brahman yang menginspirasi berbagai manifestasi.

Hanya kita saja bagai tak pernah menyadari bahwasanya (Padmasana yang berdiri tegak dirumahnya) ada didalam diri kita sendiri, begitulah misteri piwulang padmasana (Hyang Brahman) bersembunyi dalam jiwa kita mengujinya’.

Rahayu, Rahayu, Rahayu.
Indra Prabudjati - tulisan ini pernah dimuat di Majalah Raditya dan Majalah Pasek (SHDN)