SHDN_LOGIP

SHDN-2012

SHDN-2012

26 Des 2011

Dharmasastra

Ajaran Dharma adalah kesempurnaan hidup
“Adanya Dharma diinspirasikan Dari-Nya”

Dharma adalah ajaran berbudhi pekerti luhur. Dharma merupakan prinsip-prinsip dari kebajikan, kesejatian, kemurnian dan semuanya adalah kesatuan. Tentang ajarannya yang diilhami dari Sifat-sifat-Nya yang Mutlak.


Dharma Membuka Semua Rahasia Hidup Kita
“Tiada ditutupi kebenaran itu Oleh-Nya”

Ketika kita memutuskan untuk mempelajari Dharma, maka kita dipersiapkan untuk menjadi pengembara di Jalan-Nya menuju puncak Keberadaan-Nya. Segala sesuatu yang nampak tidak berkenan dengan kemuliaan sanubari akan segera disingkirkan dan menggantinya dengan hal-hal yang lebih berguna.


Dengan Dharma Segala Sesuatu Bisa Berubah
“Anugerah-Nya adalah harapan kita”

Apakah kita dialiri dengan impian hidup yang membahagiakan?

Begitulah kita yang selalu berharap menempatkan segala keinginan yang kita cita-citakan disetiap langkah. Dengan Dharma yang kita pelihara dan tumbuh-kembangkan senantiasa. Kita bisa mempercayai sepenuh hati bahwa dengan kedisiplinan pada Dharma, kita akan memahami kebiasaan kurang baik dalam diri yang disembunyikan sudah tak dapat kita pertahankan lagi. Segala sesuatu yang sangat tak menyenangkan, mengurangi kenyamanan dan meniadakan kebahagiaan adalah ketidakberhasilan kita menangani keseimbangan lahir bathin yang ingin kita capai.

Maka seharusnya bila saja kehidupan kita yang lebih banyak menikmati pengorbanan dari semua peristiwa yang kita alami, justru dengan keteguhan pada ajaran Dharma, kita semakin ditantang untuk menghidupkan ketegasan gambaran nasib apa yang hendak kita capai kelak. Rasakanlah sejelas-jelasnya gambaran nasib yang kita harapkan menjadi impian yang membumi. Kenali lagi dengan sesadar-sadarnya agar dapat memicu ketegasan kita bertindak hingga semakin mendekati tujuan itu. Hidupkan impian kita pada kehidupan yang membahagiakan, pekerjaan dan prestasi kita bahkan kehidupan sosial kita, bisa berbagi dengan orang-orang yang kita cintai.

Biarkan mimpi, gagasan maupun ide yang lebih berani lagi sepanjang itu adalah kebaikan menurut Dharma, dilakukan mengalir dikhayalan kita. Karena ini semua adalah keinginan yang muncul dari harapan kita mencapai kehidupan duniawi yang membahagiakan dan menghadapi kematian dengan kerelaan.

Sungguh kita akan kagum sekaligus haru, saat kita menyadarinya begitu banyak pengalaman hidup dalam kesulitan, penderitaan juga kekecewaan berkepanjangan terus menerus membebani kita bertahun-tahun lamanya. Disamping rasa ketidakpastian, enggan lagi mendengar kata-kata motivasi yang hanya diwacanakan tetapi sulit dilakukan, karena rasa pesimis bagai asap dari kayu yang kita bakar menutupi semua mata pikiran kita.

Jadi ajaran Dharma agar jangan dipahami sebagai penyerahan diri tanpa keinginan dan membiarkan proses hidup kita menjadi pasif, seakan menempatkan semua harapan nasib dan takdir pada jalan kebajikan yang dikira selalu monoton, tidak inspiratif, kuno dan terikat.

Bila kita menyakini bahwa dengan keteguhan menjalankan Dharma pada setiap kaki ini melangkah, nyatanya akan banyak pencapaian nasib baik dari yang tidak kita sangka-sangka, bahwa perjalanan hidup kita menjadi anugerah yang ajaib.

Kekuatan diri juga keteguhan pada Jalan-Nya adalah yang menentukan nasib dan takdir kita, menjalani karma bukan lagi dengan menyerah atau masa bodoh, tetapi melaluinya dengan kekuatan pribadi yang diilhami Dharma sebagai tantangan untuk tidak larut dalam penderitaan karma dan selalu ada inspirasi untuk memperbaikinya.

Dharma Dapat Memecah Karma
“Kekuasaan-Nya menghendaki Kehendak-Nya ”

Kekuatan Dharma adalah keyakinan dan keteguhan kita pada kehendak-Nya. Ia terus berjalan tanpa harus terhenti karena ketakutan yang tak berimbang, kekalahan dari kegagalan, keputusasaan apalagi penyerahan tanpa solusi.

Dharma begitu mengikat erat pada kita yang sudah menyerahkan diri pada-Nya. Sehingga Hyang Widhi pun tak berkenan kita meninggalkannya. Selalu saja ada penghalang bagi kita untuk berbuat yang tidak baik. Maka Dharma dapat memecah cermin-cermin karma yang membias pada diri kita, sehingga kita tak dapat lagi merasakan beban hidup berkepanjangan mengikuti panjangnya cermin. Dengan pecahnya karma maka kita diberikan kesempatan yang lebih baik untuk menaiki anak-anak tangga spiritual kita, tanpa harus berlama-lama dalam karma.

Kita telah mengikuti nasib yang diinginkan kita sendiri dan dapat selaras dengan alam yang bersahabat dengan karma kita (kemudahan Dari-Nya dalam menjalani karma dan kemurahan Hati-Nya melaluinya dengan tanpa harus berlama-lama hidup dalam keterikatan karma masa lalu. Adanya sebuah perubahan dan perbaikan).

Salam Dharma...!

20 Des 2011

Rindukan Sosok Danghyang Nirartha Dijaman Sekarang


Tersebutlah Danghyang Palah.
Berbadan kurus namun tinggi kulitnya hitam legam. Memakai jubah putih. Rambutnya digelung hingga ubun-ubun. Dahinya digaris kapur sirih. Sambil membawa tongkat trisula, perlahan mendekat Mpu Dwijendra, di pelataran candi yang seluruh tubuh candinya dililit oleh naga, didukung sembilan tokoh arca membawa genta juga relief kura-kura yang diatasnya menanggung puncak gunung Mahameru.

“Dwijendra….beranjaklah ke timur hingga ke timur Bali. Carilah guha (goa) dengan naga yang terjaga. Ratusan tahun lalu, Pertapa suci silih berganti menujunya. Namun hanya Danghyang Kuturan melampaui naga yang dijinaknya. Mendapat Wahyu mulia sesudahnya. Lampauilah lagi naganya. Kelak kan ada Wahyu untukmu.” Seketika Danghyang Palah percikkan tirta disekujur Mpu Dwijendra. Tanda restu memberkati perjalanannya kelak. Telah berlama masiwa hingga manabhe dengan dirinya.

“Mara den turuta… jangan lupakan amanah Paduka Batara Palah. Sebar Wedhatama hingga keturunan-keturunannya di Bedahulu, Silakyuti hingga ke Gurun. Hanya disanalah Siwa dan Budha bercahya”. Tutur Guruaji, sebutan Danghyang Palah (Danghyang Panataran) yang telah mendiksanya.

“Singgih Guruaji..pun pinangkani” ucap Mpu Dwijendra. Tak dinyana menitikkan airmata dijubahnya. Bergegas meninggalkan Candi Palah (Candi Panataran, sekarang). Candi kemandalaan terluas di Jawa. Adanya di Rabut Palah (Di Blitar, sekarang). Telah berdiri megah di jaman Khadiri (prasasti saka 1119, Sri Prabu Srengga Kertajaya). Dirinya pun berjalan sepanjang hari hingga tiba di Gurun (daratan Lombok hingga Sumbawa).

Mpu Dwijendra itulah Danghyang Nirartha. Beliau dianggap sebagai pendeta besar yang fenomenal. Dipercaya masyarakat Hindu di Bali menyebarluaskan pengetahuan tata cara agama yang aplikatif. Watak sang Brahmana yang rendah hati tetapi juga keras dan tegas membuat ketentraman agar damai. Kematian dalam moksanya seakan telah mengakiri konsep Danghyang fenomenal dalam tradisi tokoh besar zaman Hindu Jawa juga Bali. Namun konsep pengabdian dan pemikiran Danghyang Nirartha di jaman sekarang tetaplah diperlukan demi perkembangan keagamaan.

Seseorang yang telah bergelar Danghyang sangat dikeramatkan dan dapat dikatakan bahwa gelarnya tergantung atas Wahyu, tidak bisa dicapai hanya dengan usaha manusia semata. Danghyang harus memiliki kemampuan nawungkridha (kewaskitaan) dan mengetahui rahasia keselarasan jasmani rohani dengan ketajaman pandangan batinnya. Sehingga selain sebagai pendeta utama yang mahir beragama, menjadi pemimpin umat yang memiliki pemikiran tajam (sambegana), menguasai liku-liku segala masalah umat dan apa yang dipikirkan, diucapkan dan diperbuat (trikaya) adalah “pasti” (benar, menjadi kenyataan dan relevan sepanjang jaman). Sehingga seorang Danghyang adalah panutan, tak hanya bagi umat tetapi juga pemerintahan.

Pengembaraan Danghyang Nirartha, dipandang sebagai bentuk perjalanan suci (dharmayatra). menyusuri perjalanan mistik (napak tilas) melalui jalan yang umum dilakukan seperti halnya yang dilakukan oleh para pengembara (sufi). Perjalanan mistiknya dilakukan dengan menggunakan penunjuk jalan. Penunjuk jalannya adalah kekuatan diri yang akan membawanya untuk mencari kemanunggalan. Berbagai tahap (dwija kebatinan) dijalankan hingga mencapai tujuan akhir bersatu dengan Sang Brahman.
Begitulah Tahap akhir. Tersingkapnya rahasia terdalam antara hamba dengan Tuhan. Versi tentang kematiannya yang secara umum dikalangan umat adalah moksanya di karang perbukitan pura Uluwatu. Danghyang Nirartha, dalam perjalanannya adalah wujud totalitas jiwa pengabdian, mendidik umat dengan kepandaian wacananya dan penyadaran umat terhadap berbagai persoalan.

Kita ingin menguak ajaran yang melandasi jalan pemikiran yang ditempuhnya. Kini saatnya tugas umat, mengamanatkannya menjadi jati diri tradisi dan budaya di jaman sekarang yang lebih aplikatif agar tidak kebablasan atau terhempas modernisasi.

Karena itu sepantasnya kita mau terus berusaha mengambil tauladan pengabdian Danghyang Nirartha. Sebagaimana melampaui sang naga penjaga di goa bukit Mpulaki (dalam Samadhi mencapai hening). Samadhinya meraih Wahyu mendirikan dan menegakkan Padmasana. Wahyu yang menandakan dirinya telah mantap kepada Brahman, hanya mengabdi dan tunduk pada Maha Kebenaran. Padmasana, baginya adalah titah Candi Palah (inspirasi baginya) untuk mendirikan dan menegakkan kebenaran. Meneruskan historis Silayukti (inspirasi bagi Danghyang Kuturan) yang lebih dahulu membangun peradaban kebenaran kepada semua keturunan. Keturunan yang setia pada Siwa – Budha, yang kini nyata menyinari pulau Dewata.

Kita merindukan sosok Danghyang Nirartha dijaman sekarang, yang patut dipuji mempraktikkan pengabdiannya dengan membaur diantara manusia biasa tanpa memandang Warna atau Kasta, apalagi kaya atau miskin, Universalis dalam perbedaan agama. Tidak terpengaruh politik dan kekuasaan. Bertanggung jawab untuk pendidikan umat dan generasi mudanya dengan tidak menutup sebelah mata terhadap berbagai penyimpangan di pura (kita sudah teramat tahu dengan penyimpangan yang terjadi sekarang).

Rahayu, rahayu, rahayu. (IP)

Misteri Ajaran Padmasana Danghyang Nirartha


“Apakah Sang Empu seorang pandita dari Majapahit?” Tanya Paduka Dalem Waturenggong.

“Benar Paduka Dalem, beliau keturunan Danghyang Smaranatha yang juga keturunan Empu Bharadah” ucap Kiyai Dauh beberapa bulan sebelum diperintahkan Paduka Dalem menjemput Danghyang Nirartha ke desa Mas dan mengundang singgah ke istananya.

“Keturunannya Danghyang Smaranatha? Sungguhkah? Bagaimana rupanya?” Lagi Paduka Dalem Waturenggong tertarik lebih mendalam.

“Beliau bertutur kata, setelah belajar lama di Rabut Palah, dirinya pun memiliki titah Candi Palah memperbaiki perkembangan agama, juga bercita-cita mengubah pemujaan siwa dari arca-arca dan mandir dengan menambah Padmasana didalam sanggah pemrajan juga di pura-pura lainnya, Padmasana digunakan untuk memuja Sanghyang Widhi Wasa”

“Apa itu Padmasana? Apakah sama dengan Lingga-Yoni yang ditanah Jawa?” Tanyanya lagi

“Menurut tuturan dari orang-orang di Gading Wangi, Sang Empu berucap bahwa Padmasana bukanlah sebuah bongkahan batu, arca atau mandir yang digunakan banyak orang dalam manembah. Adalah plinggih suci untuk men-stana-kan Sanghyang Widhi Wasa sebagai simbolis Buwana Agung, sehingga kedudukannya dapat memperjelas antara plinggih pemujaan untuk keberadaan Sanghyang Widhi Wasa dan plinggih untuk roh suci leluhur.
Serupa tugu meninggi berbentuk kursi kosong yang disamakan dengan tahta tertinggi simbolisme Tuhan yang tak berwujud, juga kekuasaan-Nya yang tak dapat dibatasi, karenanya dimaknai kosong (tanpa wujud) dan tak terlihat (tanpa batas). Kegunaannya adalah merupakan pancaran semua aura cahaya suci dan mulia, membangkitkan kesadaran tertinggi untuk memuja-Nya secara utuh, artinya hanya Padmasanalah yang dipuja tertinggi dibanding tugu, gedong, arca maupun mandir apapun. Begitulah yang hamba ketahui, Paduka” jelas Kiyai Dauh.

Ketika berada di Bukit Mpulaki, Sang Empu mengingat apa yang telah dititahkan Danghyang Palah silam mencari goa yang dimaksudkannya untuk mendapatkan wahyu yang akan diembannya kelak. “Irika guha ta dunung kang tinuju…”gumamnya.

Bertemulah dirinya dengan sebuah goa yang teramat sunyi, beliau masuk hingga kedalamnya dan terhuyung diantara tanah berlumpur kotoran kelelawar, hingga wajah dan badannya kehitaman seakan tertutup lumpur, tak kuasa bangun hingga langsung tak sadarkan diri. Selama beliau tak sadarkan diri, merasakan dimimpikan bertemu seekor naga besar yang membukakan mulutnya, sehingga dirinya masuk kedalam mulutnya dan berjalan keujung lidahnya, terlihatlah sebuah bayangan cahya putih yang menyebabkan beliau terkesima, dilihatnya cahya itu seakan menyerupai sekuntum bunga kumuda (teratai putih) yang sangat rupawan memikat hatinya, seakan cahya putih yang datang dari Yang Maha Pencipta.

Seketika terbangun dirinya, kembali menelusuri dalamnya goa hingga bermuara pada gumuk lebar menganga dan bermata air ditengahnya. Dirinya terantuk kedalam sumber air dan jatuh terduduk ditengah hingga lagi tak kuasa bangun. Lalu sekonyong mengambil sikap tangan seperti bunga kumuda hingga bersamadhi mencapai hening. Pancaran dalam mimpi sebelumnya laksana menjadi nyata dalam heningnya, bunga kumuda memperlambang keberadaan Hyang Widhi telah menyatu didalam dirinya sendiri. Itulah Atman yang bercahyakan Brahman.

Sang Empu menyatakan hanya butuh sikap sederhana untuk mencapai perwujudan-Nya dalam cahya yang menyinari jiwa kita sendiri, mengikis adharma dan mempertebal dharma dalam diri. Cukuplah sudah kita mengambil banyak simbolisme atau paham-paham yang membuat kita melebar jauh dalam tradisi beragama, sehingga keberadaan-Nya yang Maha Utama tertutupi oleh berbagai pemujaan (ritual) manifestasi-Nya. Kelak anak-cucu kita akan lebih meyakini manifestasi-Nya (memperkaya ritual dan persembahannya) ketimbang merasakan adanya Brahman dalam diri (memperkaya budhi, tatwa dan susilanya).

Begitulah penuturan Danghyang Nirartha akan pentingnya mengutamakan pemujaan kepada Sanghyang Widhi Wasa. Dengan tanpa menenggelamkan tradisi adat yang sudah mengagamakan umat Hindu di Jawa maupun di Bali. Beliau justru terus berusaha menyederhanakan tradisi adat menjadi lebih mengutamakan perannya untuk memperkaya rasa rumangsa kita pada Batara Sinuhun Hyang Tunggal (Tuhan Yang Maha Esa) melalui adanya Padmasana.

Seakan dirinya berisyarat “Mana yang didahulukan? Persembahan apapun, hendaknya IA yang diutamakan”. Dengan demikian kita tak akan pernah melenceng dari-Nya.

Paduka Dalem Waturenggong turut menyadarkan dirinya sendiri pada pandangan sang guru Danghyang Nirartha, tegas mengelak bila roh dalam kematiannya nanti distanakan layaknya dewa sebagaimana tradisi kematian raja-raja di Singasari maupun Majapahit, karena Padmasana yang diajarkan padanya telah mempertebal keyakinan dirinya terhadap adanya kekuasaan yang lebih tinggi dari hanya seorang keturunan raja bahkan leluhur yang telah didewakan.

“ Iti aran Padmasana yeku Sang Hyang Widhi Wasa apan sedhengah akang gumelar tan hana kang kawawa endha denira” ujarnya mantap menyatakan sebutan Padmasana sebagai simbolisme Tuhan Yang Maha Kuasa, sebab segala apapun yang terhampar dibumi ini tidak akan terlepas dari hukum-Nya.

Kehadiran Danghyang Nirartha ratusan tahun silam, mutlak kita pertajam ajaran konsep pemikirannya tentang Padmasana, mutlak rasanya diwacanakan dan didharmakan umat Hindu Nusantara. Dan kini Padmasana sudah ada dimana-mana, bukti kita sudah melakukan sembah rasa bhakti pada-Sang Hyang Widhi Wasa dan mengisyaratkan keberadaan-Nya yang dekat dengan kita, dirumah kita dan didalam diri kita sendiri.

“Ajwa salah panampa sun prapta arsa bineneraken lakunira ikang sasar mogha walik dadi hayu labda smirta ika” (Janganlah salah arti, saya datang justru akan meluruskan perbuatanmu yang keliru semoga dapat kembali sadar dan baik) ungkapan tegas Danghyang Nirartha wujud wahyu Yang Maha Kuasa, mengabarkan umat tentang kemurnian meyakini keberadaan Roh-Nya yang mutlak juga tunggal tanpa dikaitkan nama-nama manifestasi apapun dan diutamakan juga didahulukan dari persembahan dan pemujaan apapun.

Meski Diri-Nya adalah Mahadewa sebagaimana Brahma, Wisnu dan Siwa tetaplah kesatuan bagi-Nya dan tunggal pengertiannya dalam wujud Padmasana (singgasana Sang Buwana Agung). Ini menegaskan tiada perbedaan bagi-Nya apalagi perbedaan nama dewa, sekte, warna atau kasta yang dianut manusia sendiri adalah sama (tiada yang dibedakan) dihadapan Padmasana-Nya.

Oleh karenanya Padmasana bukan diklaim untuk manifestasi-Nya, karena kursi-Nya (tahta kekuasaan-Nya) bukan untuk diduduki manifestasi-Nya. Padmasana ditujukan untuk keberadaan yang realitas Ada (kursi-Nya) Hyang Brahman yang menginspirasi berbagai manifestasi.

Hanya kita saja bagai tak pernah menyadari bahwasanya (Padmasana yang berdiri tegak dirumahnya) ada didalam diri kita sendiri, begitulah misteri piwulang padmasana (Hyang Brahman) bersembunyi dalam jiwa kita mengujinya’.

Rahayu, Rahayu, Rahayu.
Indra Prabudjati - tulisan ini pernah dimuat di Majalah Raditya dan Majalah Pasek (SHDN)

Dharma Melepas Ikatan Kesulitan Hidup

Om Swastyastu,
Salam Dharma Sahabat Muda Hindu Indonesia

Sebagai umat muda yang beranjak dewasa, akan menjadi sadar tantangan masa depannya. Disaat inilah akan berbalik memperhatikan dirinya juga sekelilingnya. Ia menemukan dirinya dalam roda kehidupan yang dipaksa ikut berputar. Roda mengingatkannya pada sesuatu yang bergerak maju. Inilah roda takdir baginya, yang tidak selalu memberikan apa yang kita inginkan. Maka roda nasib kita sendiri harus bisa dikendalikan sendiri, bukan dibiarkan meluncur tanpa kemudi.

Roda takdir inilah karma sebenarnya yang ingin menunjukkan sahabat harus lakukan dalam memajukan diri. Roda takdir bukan perjudian nasib, meski banyak orang menyakini adanya perjudian keberuntungan atau kegagalan.

Jangan hiraukan dari sebutan perjudian nasib, karena sahabat harus melakukannya dengan kesungguhan dan kewaspadaan. Bukan malah ikut menjatuhkan diri kedalam karma perjalanan nasib kita tanpa kesadaran dan perbaikan. Perjudian hanya ingin memenangkan nasib tapi masa bodoh dari kekalahan. Dan cara itu adalah pembodohan nasib, karena kita justru membuat karma lain diatas karma sebenarnya.

Kita hidup bukan untuk itu, semua peristiwa nasib baik atau tidak bernasib baik nyatanya memiliki peran memajukan kita. Inilah saatnya mengenang perbuatan dan pengalaman yang kita sadari tak dapat bertahan lama. Setiap hari, setiap bulan kita harus ada kesadaran berbuat Dharma dari setiap kesalahan dan ketidak-mengertian kita. Hanya satu cara terbijaksana melepas ikatan karma kesulitan hidup, yaitu dengan kedisiplinan berdharma. Kita sangat yakin bahwa Sanghyang Widhi berkuasa untuk memberikan yang termudah dan terbaik bagi siapapun yang mau bersungguh-sungguh pada-Nya.

Harus ada ketegasan dan keputusan melepas tali-tali ikatan menggantung harapan dan membiarkan kesempatan berlalu begitu saja. Inilah kesadaran yang kita tunggu, menemukan keseimbangan dan keselarasan kembali pulih. Sangat tidak baik mengeluh, hidup dalam pesimis sama dengan membuat beban baru. Jangan hanya bersikap menunggu dan menerima karma, sangatlah pasif dan tidak mendukung samasekali kesadaran adanya karma untuk perubahan dan perbaikan karma sahabat sendiri.

Lakukanlah, demi perubahan dan perbaikan sepenuh hati menuju tujuan semula. Tujuan yang sahabat citakan, dari doa dan harapan ayah-ibu juga kekasih kita. Karena kita sama-sama memiliki peran tanggung-jawab pada orang yang kita kasihi dan cintai. Jangan sia-siakan mereka hidup dalam penderitaan oleh ketidakmampuan kita menjalankan perputaran roda nasib-takdir kita sendiri.

“Om Hyang Widhi,
Semoga ada nasib baik bagiku
Karuniakan kami jalan terbaik
Apapun pemberian-Mu
Aku terima dengan sepenuh hati
Semoga kebaikan datang dari segala penjuru
Om Shanti Shanti Shanti Om”

“Bersungguhlah dalam Dharma, tiada sulit hidupmu melangkah”
Semoga terlaksana – SHDN/IP

19 Des 2011

Tawur Agung Ekadasa Rudra 1963


Ekadasa Rudra menjadi upacara agama umat Hindu terbesar. Karena itu harus dilakukan dipura terbesar dan sementara ini menurut catatan sejarah yang ada baru hanya pernah dilakukan di Pura Besakih.

Bencana alam dan sosial diacu sebagai pertimbangan untuk perlunya penyelenggaraan upacara ini. Tetapi memiliki batasan penggunaan acuan tersebut dengan penetapan waktu yang berdasarkan setiap sepuluh atau seratus tahun atau bahkan ada sebagian pendapat yang memandang tanpa adanya interval waktu, dengan mengacu pada perlunya penyelanggaraan bila telah terjadi bencana besar, berkepanjangan dan memakan korban dan kerugian sangat besar.

Ritual ini dikenal dengan nama Eka Dasa Rudra (pemujaan terhadap 11 Kala Rudra, yang menguasai bhuta/kala di setiap arah penjuru angin). Tujuan ritual ini adalah memohon keseimbangan jagat dengan tujuan untuk menjauhkan manusia dari bencana dan memberikan kesejahteraan.

Eka Dasa Rudra adalah serangkaian upacara besar yang memakan waktu lebih dari 2 bulan untuk menuntaskannya. Dari rangkaian ritual tersebut yang menjadi bagian terpenting adalah Tawur Eka Dasa Rudra, dalam konteks ini Yadnya/bhakti (sesaji) ditujukan kepada kesebelas butha wujud Kala Rudra ~ bukan untuk pemujaan pada Hyang Rudra, agar tidak mengganggu keseimbangan alam.

Meskipun Ritual Eka Dasa Rudra sudah ada diperkenalkan pada jaman sejarah kerajaan Bali Kuna, upacara ini kembali ditata ulang oleh Danghyang Nirartha pada masa kebudayaan Majapahit di Bali, di saat berkuasanya Dalem Waturenggong, raja kerajaan Gelgel.

Pada masa-masa penjajahan, upacara ini tidak dapat dilaksanakan, pada saat menjelang pra-letusan gunung Agung ditahun 1963 (dengan status Siaga), atas pertimbangan para tokoh Hindu saat itu, Presiden Soekarno menyetujui agar diadakan upacara tawur Eka Dasa Rudra agar keseimbangan jagat dapat kembali dipulihkan. Maka upacara ini dilaksanakan kembali meskipun bersamaan dengan meningkatnya dari status Siaga 1 menjadi status Awas dari kondisi keaktifan terakhir Gunung Agung pada awal tahun 1963 itu. Karena kondisi Gunung Agung yang bisa membahayakan umat, maka beberapa tingkatan ritual dan pelaksanaannya ada beberapa hal yang tidak bisa dilakukan sepenuhnya dan lokasi persembahyanganpun berpindah tempat ke Menanga.

Upacara agung Ekadasa Rudra pada tahun 1963 itu lebih sebagai karya paneregteg atau karya dengan maksud penebusan, yaitu upacara yadnya yang diselenggarakan karena telah cukup lama karya tersebut tak digelar, karena karya yang mestinya diadakan 100 tahun sekali pada saat tahun Saka berakhir 00 atau rah windhu tenggek windhu, sudah cukup lama tidak dilaksanakan.

Pada Tilem Caitra Saka 1900 tepatnya bulan Maret 1979, Karya Agung Ekadasa Rudra digelar sesuai dengan petunjuk Lontar 'Indik Ngekadasa Rudra' -- (Lontar Ngeka Dasa Rudra, Geriya Taman Intaran Sanur)menyebutkan : Ngadasa tahun amanca wali Krama ring Basukih; puput panca Wali Krama ping 10 mewasta windu turas, nga. Ring kaping solasniya wawu ngeka dasa rudra rah windu, tenggek windu. Disuratkan dalam lontar itu, ketika tahun Saka berakhir dengan dua windhu (00) disebut windhu turas, besar sekali terjadinya perubahan alam (jagat). Yang dijadikan pegangan dalam menyelenggarakan upacara tersebut, yaitu diselenggarakan pada tahun Saka berakhir dengan windhu turas atau rah windhu tenggek windhu.

Artinya, saat itu sudah mulainya diberlakukan hitungan menurut tatanan waktu yang ditentukan dan menjdai kewajiban untuk diteruskan pelaksanaannya sesuai interval waktu tersebut dimasa-masa mendatang. Maka saat itu dipakai atau dipilih melaksanakan tawur-jagat di Bali yakni setiap sepuluh tahun disebut Panca Bali Krama, setelah Panca Bali Krama sepuluh kali disebut windhu turas (rah windhu tengek windhu atau 00), barulah mengadakan Ekadasa Rudra.

Diantara sumber-sumber tersebut antara lain :.

Purana Pura Agung Besakih, yang tidak menyinggung periode pelaksanaannya, hanya menguraikan tentang rincian upakaranya yang sedikit berbeda dalam hal binatang korban yang dipergunakan bila dibandingkan dengan sumber-sumber lainnya.

Lontar Widhi Sastraning Taur Eka Dasa Rudra, dari Wanasari Tabanan, menuliskan :
”Huwusning Eka Dasa Rudra patawurakena Bhuta Panca Wali Krama, gaweya sanggar 5, tekaning panggungan panca desa. Wusning mangkana patawurakena Tri Bhuwana, ngaran, patawurakena Gurunya. Sanggar Tawang sanunggal panggungan sawiji. Mangkana yogyaniya gelarakena de sang rumakseng praja mandala, lawan para wiku Aji, sang sampun kreta yaseng yadnya sinanggah Weda Paraga."

Lontar Eka Dasa Rudra, Geriya Lod Rurung Riyang Gede, menuliskan :
"Wusni Eka dasa Rudra, patawurakna Bhuta Panca Wali Krama, lwire amanca desa, pur, da, pas, u, ma. Telasning mangkana Tri Bhuwana, angadegaken sanggar tawang tiga saha panggungan siji sowang, u, ma, da. Wus mangkana patawurakna Gurudya."

Lontar Bhama Kretih, menuliskan :
”Wusning Eka Dasa Rudra patawurakna bhuta Panca Wali Krama, lwire amanca desa, marep pur, da, pas, u, ma,. I Tlas mangkana muwah patawurakena Tri Bhuwana angadegaken sanggar tawang 3, saha panggungan siji sowang, u, ma, da,. Wus mangkana malih patawurakena Guruniya sanggar tawang 1."

Tampaknya Ekadasa Rudra akan tetap dipertahankan dengan interval waktu setelah sepuluh kali upacara Panca Walikrama (Bali Krama).

-Sumber:
-PHDI; 'Pamahayu Jagat'04 Maret 2009
-David J.Suart-Fox ; Pura Besakih; Pura, agama dan Masyarakat Bali, 2010
-Yayasan Mertasari Rempoa

Tawur Agung Pancawalikrama 2009


Pada Rabu Pahing Wuku Kuningan, 25 Maret 2009 tepat pada Tilem Caitra/Kasanga -- umat Hindu kembali menyelenggarakan upacara Tawur Panca Wali Krama di Pura Besakih. Karya ini digelar setiap 10 tahun sekali, yaitu pd Tilem Caitra/Kasanga ketika tahun Saka berakhir dengan 0 atau rah windhu.

Maksud yg tertuang pd Lontar Raja Purana, Tawur Agung ini adlh momen utk melakukan evaluasi terhdp pelbagai sistem kehidupan menuju yg harmonis. Atau mengingatkan umat kpda upaya penegakan aspek kehidupan.

Candi Sukuh-Karanganyar


Candi Sukuh di Dsn. Berjo, Sukuh-Ngargoyoso, Karang Anyar Jawa Tengah. Adlh candi yg unik dgn kesamaan bentuk di Saqqara Mesir, Chichen Irza dan Tenochticlan di Mexico dan Copan di Honduras. Terdpt patung manusia bersayap burung. Yg jg ditemui di bangunan bangsa Maya, literasi kuno Yahudi, serta relief Sumeria, Babylonia dan Assyrian.
(info-peradaban atlantis nusantara-seri atlantis)