SHDN_LOGIP

SHDN-2012

SHDN-2012

21 Nov 2006

Sebuah argumen, Awal Keruntuhan Majapahit: Oleh Demak atau Konflik Majapahit sendiri?

Hindu Jawa, Budha, Kejawen maupun keyakinan pluralistik yang masih animistik lainnya, mengalami interaksi, transformasi dan konvergensi secara ketat dengan Islam, yang lebih responsif melihat peluang perubahan arus deras perpindahan politik kekuasaan.

Hindu dan Budha yang dulunya mendapat perhatian besar semasa kemakmuran Kedatonan Majapahit, termasuk pengayaan budaya, sastra dan pendidikannya, karena ulah perang saudara, antar sesama keluarga raja bawahan (Paduka Bhattara atau Bhra-i/Bhre) Majapahit, kian merosot hingga rapuh kedaulatannya. Jadi, bila di awal abad 15 masehi masyarakat mempraktikkan adat-istiadat Jawa, pada pertengahan abad telah terjadi pergeseran pemelukan agama pada masyarakat yang tinggal di pesisir-pesisir utara Jawa. Di kota-kota pelabuhan terjadi hubungan dagang yang intensif antara pedagang Cina dan Jawa. Selain itu, pada pertengahan abad 15 masehi dapat disimpulkan bahwa keturunan Cina pendatang telah memeluk agama Islam terlebih dahulu, baru kemudian diikuti oleh masyarakat setempat.

Meskipun agama Islam telah memperoleh tempat baru yang subur di Semenanjung Malaka dan Sumatra pada abad XIII, tapi agama ini baru bersemi di pesisir utara Jawa pada abad XV. Meskipun demikian, berdasarkan laporan Ma Huan dan Fei Xien yang mengikuti perjalanan Panglima Cheng Ho di Nusantara pada 1405 – 1406, agama Islam belum tampak dipeluk oleh penduduk asli di Pulau Jawa, dan yang mereka laporkan adalah agama dan adat-istiadat Jawa.

Aliansi masyarakat Jawa Islam dan Cina Islam yang tinggal di pesisir Jawa inilah yang kelak mendorong lahirnya Kesultanan Demak. Tuban dan Surabaya sebagai kota pelabuhan strategis, pada abad 15 masehi sudah menjadi kota dagang yang telah banyak dihuni oleh keturunan Cina. Hubungan dagang antara kekaisaran Tiongkok daratan dengan Jawa yang dipandang semakin meningkat, maka diangkatlah kapten Cina Gan Eng Chu di Tuban pada tahun 1423 dan di Surabaya pada 1447. Kurang lebih 1.000 keluarga keturunan Cina tinggal di Tuban, dan mereka juga banyak yang tinggal di Surabaya. Mereka hidup berdampingan dengan masyarakat setempat dan berinteraksi dengan adat-istiadat setempat. Dan kebanyakan penduduk Cina yang tinggal ini memeluk dan menaati aturan agama Islam.

Mungkin ada baiknya, kita mencoba uraian Bernard H.M. Vlekke, penulis sejarah Indonesia dari Belanda, (Nusantara, Sejarah Indonesia, edisi ulang 2008), kejayaan Majapahit runtuh bukan disebabkan oleh kerajaan Islam, atau tepatnya kejayaan Majapahit yang kita kenal diera Gajah Mada, jauh sebelumnya sudah menunjukkan keruntuhannya yang bermula dari kisah Perang Paregreg dan seterusnya hingga memang akhirnya keturunan dari Raden Patah mengambil alih kerjaaan Majapahit yang notabene tak lagi Majapahit dulu. Jadi hal ini menepis anggapan bahwa Raden Patah yang telah melakukan penyerangan ke Majapahit, padahal Prabu Brawijaya V terbunuh dalam peperangan oleh dinasti Majapahit lainnya, Dyah Ranawijaya.

Alkisah, Dyah Ranawijya bermaksud membalas dendam atas pengusiran ayahnya, Prabhu Sińhawikramawarddhana yang menjadikan ayah dari Raden Patah ini bergelar Prabu Brawijaya V. Majapahit pun berpindah dari Tumapel kembali ke Klin, di Daha.

Sehingga penyerangan ke Majapahit oleh penerus Demak Sultan Trenggana dianggap juga sebagai bagian dari pengambil-alihan kekuasaan dinasti Dyah Ranawijaya ke pada trah dinasti Prabu Brawijaya, meskipun Raden Patah bukan satu-satunya anak lelaki beliau, karena ketika itu yang lebih berhak adalah Adipati Pengging.

Setelah Raden Patah meninggal, putra pewaris Demak, Pangeran Sabrang Lor (Adipati Unus) untuk pertamakalinya mulai melakukan penyerangan ke Majapahit di Tumapel, lalu berhasil menaklukkan wilayah-wilayah Majapahit di timur Jawa versi Dyah Ranawijaya yang bergelar Prabhu Girîndrawarddhana hingga Janggala, Kahuripan dan Tumapel dinyatakan sebagai bawahan Demak, Prabhu Girîndrawarddhana kembali mengungsi ke Daha dan memimpin Majapahit disana. Jadi tidak sepenuhnya Majapahit dihancurkan ketika itu. Justru setelah Adipati Unus digantikan puteranya Sultan Trenggana, maka aksi balas dendam cucu Raden Patah untuk menebus kematian Prabu Brawijaya V, dilakukan dengan menghabiskan kekuasaan Prabhu Girîndrawarddhana dan keturunanannya hingga tidak lagi menguasai Daha.

Vlekke punya penjelasan menarik tentang mengapa orang Jawa berbondong-bondong masuk Islam, tapi pada saat yang sama tetap masih tradisi lokal (sinkretis) juga bernuansa budaya Hindu. Para raja di Jawa, menurut Vlekke, memilih Islam bukan karena mereka suka pada agama itu, melainkan karena situasi politik mendorong mereka untuk bertindak demikian. Mereka dihadapkan pilihan sulit antara memilih bersekutu dengan Portugis atau bekerja sama dengan kekuatan politik antara Johor (Malaka) dan Demak, yang berarti harus memilih antara Kristen (kekuatan politik dagang Portugis di Johor) atau Islam ala Demak (kekuatan politik Jawa saat itu). Meskipun pada akhirnya memang terjadi penaklukan termasuk konversi agama yang dipeluk oleh Kesultanan Demak terhadap kadipaten-kadipaten yang masih setia kepada Majapahit. Sistem penaklukan agama ini di kemudian hari dilanjutkan oleh Belanda ketika menjajah Kep. Nusantara. Bahkan Belandalah yang menempatkan ulama-ulama dan aliran dari Timur Tengah di kerajaan-kerajaan di Nusantara yang telah dikuasainya.

Meski pada saat itu adalah awal kejayaan Islam, tetapi sebaliknya juga masa-masa sulit penyebaran Islam secara merata, karena orang Jawa nyatanya menerima Islam masih tidak sepenuh hati, mayoritas Kejawen enggan hidup dalam kekuasaan politik islam yang menanggalkan identitas ke-Jawaannya. Hingga kini masih bisa dirasakan, reaksi masyarakat Islam Jawa (istilah golongan abangan), dan dukungan dari golongan tradisional dengan keyakinan pluralistik, yang masih mempertahankan eksistensitas golongan Jawa halusnya (priyayi maupun Jawa bertemperamen klasik) yang masih kejawen maupun juga tetap Hindu, belakangan ini, Hindu di Jawa, justru diyakini melebihi jumlah mayoritas umat Hindu di Bali. Masa-masa reses tersebut, mengkondisikan silang sengketa Islam dalam dua golongan; kaum santri putih (Islam berbudaya Mekkah) dan santri abangan (Islam berbudaya Jawa).

Perang sesama keluarga raja-raja Majapahit dan kemunculan Demak sebagai cikal penguasa Jawa baru, sudah tidak bisa ditolak, pada masa itu semakin banyak orang Jawa kehilangan arah. Hindu, Budha dan Islam tercampur dalam konflik politik kekuasaan, perseteruan antar keluarga raja Majapahit yang Hindu, munculnya Sultan Demak berwajahkan Islam, adalah dimulainya simbol kultural peradaban Jawa baru yang perlahan-lahan menyebar, merata dan mulai terus giat mengislamkan Jawa. Intimidasi dan provokasi, serta main fitnah adalah bentuk keadaan yang menjadi kesenjangan sosio-kultural masyarakat Jawa yang semakin beringas, brutal dan lepas ‘budhi’nya (gambaran Portugis, Inggris dan Belanda yang membedakan Jawa saat pasca Imperiumnya Majapahit Hayam Wuruk).

Orang Jawa mengalami masa tidak stabil, karena penguasa Majapahit sebagai pengayom justru terlibat perang saudara, disisi lain orang Jawa lainnya, memilih hijrah ke Islam ketimbang ikut berseteru dengan keluarga Hindu Majapahit. Ancaman, intrik dan fitnah dalam persaingan antara beda agama dan keyakinan, yang menyama-ratakan pemeluk Hindu dan Budha sebagai agama ‘kaffir’ penyembah berhala, karena tidak mau masuk Islam. Akhirnya, sejarah mencatat, penolakan terhadap islam, memilih ke pegunungan, seperti suku Tengger sekarang atau hijrah ke Blambangan, hingga eksodus besar-besaran ke Bali.

Tentang kejatuhan Majapahit oleh penyerangan kerajaan Demak (Islam), dikutip dari Eyang Suryo yang menyebut dirinya keturunan ke 11 dari raja Majapahit, saat ini menjadi pelingsir Yayasan Puri Surya Majapahit, mengatasnamakan dirinya sebagai Raja Majapahit keturunan Tionghoa, bergelar Shri Wilwatikta Brahmaraja ke XI, di Jimbaran, Bali (Raditya-134, hal.16), mengatakan bahwa, benar Majapahit di Trawulan diserang oleh Demak pada 1403, lalu nenek moyangnya menyingkir hingga ke Daha, Jenggala dan Kediri sampai 1578, (yang tertulis di Raditya, tak menyertakan tahun Caka atau Masehi, bila 1403C=1481M, 1578C=1656M atau bila 1403M=1325C, 1578M=1500C). Perihal sebab musababnya mengalami kekalahan, hingga nenek moyangnya mengungsi, tak disebutkan dirinya secara lengkap. Sebagaimana yang dikatakan Eyang Suryo.

Padahal Bĥre Kertabũmi sendiri, yang disebut-sebut sebagai Prabhu Brawijaya V, raja Majapahit (ayah dari Raden Patah, pendiri Demak), baru berkuasa ditahun 1468M hingga 1478M. Agaknya pendapat beliau (dengan pengakuan nenek moyangnya sebagai keturunan raja Majapahit), berbeda dengan berdirinya Demak pada 1500M, Raden Patah adalah pendiri Kesultanan Demak memerintah tahun 1500M-1518M, dan penyerangan Demak ke Majapahit terjadi antara 1518M dan 1519M, yang bukan dilakukan oleh Raden Patah, tetapi dilakukan oleh raja pengganti, puteranya sendiri yaitu, Adipati Unus yang berkuasa pada 1518M-1521.

Demak sendiri, semasa Raden Patah menjadi rajanya, pada saat Majapahit rajanya, Prabu Brawijaya V, lebih banyak mengutamakan kepentingan ekspansinya ke wilayah barat Jawa ketimbang ke timur Jawa (Negara-negara kecil yang masih loyal pada Majapahit). Demak menaklukkan Cirebon pada 1475M, dan sedang terus berlanjut hingga Palembang dan Jambi.

Hal ini menepis tafsir di masyarakat yang menyatakan Prabhu Brawijaya mati ditangan anaknya (Raden Patah) sendiri. Bahwa, penyerangan ke Majapahit versi Prabhu Brawijaya V pada 1478M, bukanlah oleh Raden Patah, tetapi oleh Bhaţţāra riń Kliń di Daha, Dyah Wijayakarana Girîndrawarddhana (Dyah Ranawijaya). Hal ini disebabkan oleh ayahnya, Prabhu Sińhawikramawarddhana, dulu terusir dari kekuasaannya menjadi raja Majapahit oleh Prabhu Brawijaya pada 1468M.

Nampaknya jika pendapat Eyang Suryo seperti yang dilansir dari Raditya, nampaknya tidak perlu lagi kita bahas lebih lanjut, karena pendapatnya tak berkait dengan berbagai fakta-fakta dan temuan baru (dari prasasti yang ada) referensi pendukung yang menunjukkan keadaan yang sebenarnya. Kita justru lebih cenderung, melihatnya pada peristiwa Perang Paregreg, yang mungkin dimaksud beliau, jadi tahun yang dimaksud, bukanlah perang dengan Demak, tetapi Perang Parereg, yang banyak disebut sebagai lahirnya embrio kedua kegagalan Majapahit melanjutkan masa keemasan imperiumnya (embrio pertama adalah, Perang Bubat, yang membuat kelompok Gajah Mada dan kelompok kerabat istana dalam keadaan krisis kepercayaan).

Semenjak perseteruan mulai pada 1401M, Majapahit semakin memisahkan diri menjadi dua istana kekuasaan Majapahit yang bersaing, Kedaton Kulon/Istana Barat (Jenggala-Kahuripan) dan Kedaton Wetan/istana Timur (Blambangan), perang besar hingga 1406M, yang berakhir dengan kematian tragis Bhre Wirabhũmi (kepalanya dipenggal).

Dalam penulisan utusan cina; buku ke-324, sejarah Dinasti Ming 1368M-1643M (Mingh-Shih), bahwa setelah Kaisar Cheng Tsu bertahta pada 1403M, raja baru bertahta ini, kembali perlu melakukan hubungan politik dengan Jawa, dimana Majapahit paska Hayam Wuruk, kini sedang bertikai, yang menjadikan melemahnya kekuasaan Majapahit di Nusantara.

Kaisar Cheng Tsu bersaing dengan Portugis dalam melakukan politik dagang baru paska melemahnya kekuasaan Majapahit. Utusan-utusannya pun dikirim ke raja Jawa ‘bagian barat’, Tu-ma-pan dan raja Jawa ‘bagian timur’, P’i-ling-da-ha (maksudnya tak lain adalah Kedaton Majapahit Kulon, Prabhu Wirakramawarddana dan Majapahit Wetan, Bhre Wirabhũmi; seperti pada Serat Pararaton), tersebutlah Laksamana Cheng-Ho, ialah yang memimpin lawatan ke Jawa pada 1405.

Pada saat lawatannya di tahun 1406, kedua Raja kembali sedang bertikai, Kedaton Majapahit Wetan mengalami kekalahan, Bhre Wirabhũmi pun melarikan diri, mendekati perahu utusan Cina. 170 utusan yang mengawal Laksmana Chen-Ho berada disana, akhirnya justru ikut terbunuh, dikira oleh prajurit Prabhu Wikramawardana (Bhra Hyań Wiśeşa) akan membantu Bhre Wirabhũmi. Kesalahpahaman ini, menyebabkan Prabhu Wikramawarddhana tak punya pilihan lain, agar tak diserang balas dan tetap berhubungan dengan Cina, maka bersedia membayar upeti 10.000 tail kepada Kaisar Cheng-Tsu, sebagai pengganti utusannya yang terbunuh.

Dalam hal ini, menyakinkan pendapat adanya manuver Cina di pesisir Kalimantan dan Portugis di Johor, Malaka dan pesisir Sumatera, yang mulai ingin menguasai perdagangan, bahwa kekuatan armada perang Majapahit, tak lagi sekuat masa Gajah Mada berkuasa.

Kita mengetahui keadaan pertikaian antara anak dan mantu dari Hayam Wuruk, bermula dari ketidakpuasan Bhre Wirabhũmi, anak dari selir Hayam Wuruk, yang hanya dijadikan Paduka Bhaţţāra riń Wirabhũmi, dengan ditambahkan kekuasaannya meliputi seluruh bagian wilayah timur Jawa, beristana di Blambangan dan dikawinkan dengan Bhra Pajang, Nagarawarddani. Dan yang diangkat menjadi Raja Besar Majapahit adalah Bhra Mataram, Wikramawarddhana, suami dari puteri sulung Hayam Wuruk, yang juga keponakannya sendiri dari Rajasaduhiteswari, adiknya (Bhre Pajang). Wikramawarddhana dikawinkan dengan puteri sulung Hayam Wuruk, (Bhre Lasĕm Saŋ Ahayu), yang ditunjuk menggantikan Hayam Wuruk di tahun 1389M. Prabhu Wirakramawarddana menguasai seluruh bagian wilayah barat Jawa dan negara-negara bawahan lainnya, warisan Hamukti Palapa Gajah Mada di Jawa maupun Nusantara.

Bhre Wirabhũmi memandang sepantasnya putri sulung Hayam Wuruk, Kusumawarddhanĩ , yang diangkat, Kusumawarddhanĩ adalah puteri sulung, dari Paduka Sori, permaisuri Hayam Wuruk. Wikramawarddhana, meski suaminya sendiri, karena hanya berstatus mantu dan keponakan. Bila dibandingkan dengan Bhre Wirabhũmi, jelas kedudukan Wikramarddhana lebih rendah darinya. Hal demikian bisa dikatakan, sebagai satu-satunya anak laki tertua dari Hayam Wuruk, meski dari ibunya yang hanya rabihaji (istri selir), dan dirinya telah lama diangkat dan diakui anak oleh Bhra Daha, Rajadewi Maharajasa (adik kandung Bhra Kahuripan, Tribhuwana Wijayotungga Dewi, ibu Hayam Wuruk).

Tahun 1399M, Bhre Tumapel, Hyang Wekas Ing Suka, Puteri mahkota Prabhu Wikramawarddhana, meninggal. Prabhu Wikramawarddhana, mengalami kedukaan yang panjang, dan sempat menyatakan sempat memilih keluar dari keraton untuk bertapa. Namun akhirnya kembali lagi ke keraton, karena kepergiannya, mengakibatkan ketidakstabilan keadaan politik, hingga Kedaton Majapahit Kulon, kalah oleh serangan Bhre Wirabhũmi. Prabhu Wikramawarddhana beserta kerabatnya ada yang mengungsi ke Daha, Jenggala dan Kahuripan. Namun, Bhre Wengker dan kerabat keluarga lainnya akhirnya ikut dalam perang Paregreg, membantu Prabhu Wikramawarddhana hingga berhasil membalas serangan dengan terbunuhnya Bhra Wirabhũmi.

Prabhu Wikramawarddhana kemudian memboyong Istri Bhre Wirabhũmi dan anak-anaknya, yang salah satu puterinya, kemudian diperisteri olehnya, dan melahirkan Suhita, yang kemudian bergelar Prabhustri.

Pada 1426, sang permaisuri, Kusumawarddani meninggal diikuti pada tahun yang sama itu, adiknya Nagarawarddani (istri Bhre Wirabhũmi), pun turut meninggal. Atas duka kematian puteri mahkota dan permaisurinya, Prabhu Wikramawarddhana, kembali lebih banyak memilih bertapa, hingga akhirnya mangkat pada 1429.

Selanjutnya, kelompok keluarga Bhra Wirabhũmi, diperikirakan mulai ‘getol’ menyuarakan hak unggul Suhita menjadi pengganti Prabhu Wikramawarddhana, karena meninggalnya putera mahkota dari permaisurinya, Kusumawarddani, menyebabkan kedudukan puteri Bhre Wirabhũmi yang diperistri olehnya, lebih tinggi dari istri-istrinya yang lain. Maka Suhita diangkat menjadi Ratu Majapahit (1429M-1447M), bergelar Prabhustri. (bersambung)

Peristiwa ini sekiranya, oleh sebagian pihak, dianggap perlu untuk menenangkan keadaan ketegangan, antara Prabhu Wikramawarddhana dan Bhre Wirabhũmi. Lantas terjadi keputusan pada 1433M, Prabhustri Suhita mengangkat putera Bhra Wirabhũmi menjadi Bhra Daha.

Hal ini justru menjadikan kelompok keluarga Bhre Wirabhũmi, merasa telah waktunya, melakukan balas dendam, berhasil mengadili Patih Gajah Angabaya (Bhra Narapati), yang akhirnya dihukum gantung dengan tuduhan melakukan pelanggaran undang-undang hak istimewa keluarga bangsawan, dengan pembunuhan keji seorang anak raja (Bhre Wirabhũmi yang dipenggal kepalanya, lalu dibawa ke alun-alun Majapahit, dipertontonkan orang banyak, sebagai kemenangan Majapahit Kulon terhadap Majapahit Wetan).

1437M, Bhra Daha, memilih hengkang dari kekuasaan Prabustri Suhita, fragmen Kedaton Majapahit Kulon dan Kedaton Majapahit Wetan terjadi lagi (hanya tidak di Blambangan tetapi di Daha), memanas hingga Prabustri Suhita mangkat di 1447, keadaan rakyat di trilokapura (Daha, Jenggala dan Kahuripan) semakin tidak menentu dan terjebak intimidasi dan fitnah selama perang saudara.

1147M, Sepeninggal Ratu Suhita, Daha tetap berdiri sendiri. Prabustri Suhita digantikan adik tirinya dari Prabhu Wikramadewa dan isteri pertamanya, Bhra Tumapel, Dyah Krtawijaya (1447-1451).

1451M, Dyah Krtawijaya digantikan adiknya, Bhra Pamotan bergelar Prabhu Rajasawarddhana, yaitu Dyah Wijayakumara Sang Sinagara (1451-1453) yang memerintah dari Kahuripan. Diperkirakan Trowulan mengalami keadaan yang tidak menguntungkan (diperkirakan gunung meletus, lahar dingin, banjir serta longsor dan peristiwa lumpur di delta sidoarjo sebagaimana keadaan sekarang, membuat jalur ke Trowulan semakin tidak mudah dijangkau, dan ditinggalkan fungsi ibukotanya).

1453-1456M, selama tiga tahun, terjadi kekosongan gelar raja Majapahit Pusat, Trowulan telah lumpuh dan terjadi kekosongan kekuasaan bergelar raja, keadaan yang tidak menentu dan terus menerus, terancam persaingan dalam keluarga mereka sendiri. Otorita-otorita Majapahit yang merupakan bawahan Majapahit Pusat mulai mangkir dan enggan disatukan kembali.

1456M, Bhra Wengker, adik Prabhu Rajasawarddhana, Girîndrawarddhana Dyah Suryawikrama Hyang Purwawisesa, mengambil alih, menjadikannya raja Majapahit bergelar Prabhu Girîndrawarddhana Hyang Purwawisesa (1456-1466M). 1466M, Adik bungsu dari Prabhu Girîndrawarddhana, yaitu Diah Suprabawa bergelar Bhra Pandan Salas, mengambil alih kuasa Majapahit bergelar Prabhu Sińhawikramawarddhana. Namun tidak di Jenggala, Daha maupun Kahuripan, tetapi di Tumapel.

1468M, Prabhu Sińhawikramawarddhana takluk oleh Bhra Krtabhũmi V, putra bungsu Rajasawardana. Prabhu Sińhawikramawarddhana kembali ke Kliń di Dahanapura, hingga mangkat 1474M. Bhra Krtabhũmi V menjadi raja Majapahit (Kedaton Majapahit Kulon), beristana di Tumapel, bergelar Prabhu Brawijaya V.

1474M, Dyah Wijayakarana Girîndrawarddhana (Dyah Ranawijaya) putera dari Prabhu Sińhawikramawarddhana, menggantikan ayahnya yang mangkat dan bertahta di Kliń di Dahanapura, (Majapahit Kedaton Wetan di Daha), saat inilah mulai dikenal adanya dinasti Majapahit bergelar Prabhu Girîndrawarddhana, wangsa raja yang bersilsilah dengan Hayam Wuruk.

1478M, Sirna Ilań Kěrtaniń Bhũmi 1400 Caka Jawa atau 1478 Masehi, faktanya adalah serangan Prabhu Girîndrawarddhana, yang membalas balik ke Kedaton Majapahit Kulon, di Tumapel, hingga terbunuhnya Prabhu Brawijaya V (Bhra Kertabhũmi V) di dalam kedaton. Kedaton Majapahit Kulon kembali dikuasai, istana di Tumapel menjadi kuasanya (Muh.Yamin-GM-Balai Pustaka-106), catatan dari Muh. Yamin ini menepis anggapan tentang legenda moksanya Prabu Brawijaya V yang beredar dimasyarakat.

1486M, Dyah Wijayakarana Girîndrawarddhana mendeklarasikan sebagai Shri Maharaja Shri Wilwatikta Daha Jenggala Kahuripan, menguasai territorial trilokapura Majapahit.

1518M hingga 1519M, Demak untuk pertamakalinya melalui Pangeran Sabrang Lor (Adipati Unus) berhasil menaklukkan wilayah-wilayah Majapahit di timur Jawa versi Prabhu Girîndrawarddhana hingga Janggala, Kahuripan dan Tumapel dinyatakan sebagai bawahan Demak, Prabhu Girîndrawarddhana kembali mengungsi ke Daha dan memimpin Majapahit disana.

1521M, Pangeran Sabrang Lor (Adipati Unus) telah mangkat dan digantikan Sultan Trenggana, raja ketiga Kesultanan Demak yang memerintah tahun 1521-1546. Di bawah pemerintahannya, wilayah kekuasaan Demak mulai meluaskan ekspansi kekuasaannya sampai ke seluruh pesisir Jawa Timur. 1527M, Sultan Trenggana mengambil alih kekuasaan Prabhu Girîndrawarddhana, Majapahit yang tidak lagi menguasai Trilokapura yang merupakan sentra wilayah utama Majapahit, yaitu Jenggala, Kahuripan dan Daha.

Hal ini, sepatutnya kita membuka catatan sejarah dengan seksama, agar tidak dikenang dengan kejayaan semata atau fakta sejarah yang dihilangkan, seolah Majapahit berdiri jaya tanpa cela (tanpa kelemahan). Pendapat Tri Widodo Utomo, (Tulisan pendapatnya dipublikasikan di Harian Pikiran Rakyat) fakta Majapahit sejak didirikan oleh Raden Wijaya (Kertarajasa) hingga masa keruntuhannya, Majapahit selalu dirongrong oleh konflik politik yang sulit dihindarkan, yaitu perebutan tampuk kepemimpinan yang terjadi secara beruntun, juga benih-benih ketidakpuasan dari “arus bawah” dengan suburnya tumbuh menjadi gerakan-gerakan coup d’etat.

Argumen ini disimpulkan dari berbagai referensi sumber, sebagai referensi kita, generasi muda Hindu di Nusantara, bahwasanya memahami Kebangkitan Majapahit, hendaknya tidak hanya sekedar mengagung-agungkan Majapahit atau keturunan-keturunan rajanya, membangga-banggakan niskala ataupun kesaktian mistisme,bahwa persoalan keruntuhan Majapahit, nyatanya diawali oleh Majapahit sendiri paska era kemashyuran Raden Wijaya, Sri Gayapatni, Gajah Mada, Tri Buwanatunggadewi & Hayam Wuruk.


Rahayu, Indraprabudjati

Referensi:
- Muhammad Yamin dalam Gajah Mada: Pahlawan Persatuan Nusantara, BP cetakan 1977.
- Prof.DR. Slamet Mulyana dalam Tafsir Sejarah Nagarakretagama, LKIS cetakan 2006.
- Majalah Hindu Raditya dalam tajuk editorial Kebangkitan Majapahit, edisi 134 September 2008.
- Agus Aris Munandar dalam Ibukota Majapahit: Masa Jaya dan Pencapaiannya, Komunitas Bambu, cetakan 2008
- Bernard H.M. Vlekke dalam Nusantara: Sejarah Indonesia, KPG, cetakan pertama, April 2008
- Dr. Purwadi, M.Hum & Drs. Djoko Dwiyanto M.Hum dalam Filsafat Jawa, Panji Pustaka, 2006
- Hasan Djafar dalam Masa Akhir Majapahit; Girindrawarddana dan permasalahannya, Komunitas Bambu, 2009
- Sagimun M.D dalam peninggalan Sejarah Tertua Kita, CV. Masagung, 1987
- Tri Widodo W. Utomo dalam Refleksi Realitas Politik Indonesia Kontemporer: Krisis Kepemimpinan Dan Kehancuran Majapahit, Tulisan ini dipublikasikan di Harian Pikiran Rakyat.
- Sejarah Nasional Indonesia Jilid II, 1984, halaman 420-445, terbitan PP Balai Pustaka, Jakarta