SHDN_LOGIP

SHDN-2012

SHDN-2012

20 Des 2011

Rindukan Sosok Danghyang Nirartha Dijaman Sekarang


Tersebutlah Danghyang Palah.
Berbadan kurus namun tinggi kulitnya hitam legam. Memakai jubah putih. Rambutnya digelung hingga ubun-ubun. Dahinya digaris kapur sirih. Sambil membawa tongkat trisula, perlahan mendekat Mpu Dwijendra, di pelataran candi yang seluruh tubuh candinya dililit oleh naga, didukung sembilan tokoh arca membawa genta juga relief kura-kura yang diatasnya menanggung puncak gunung Mahameru.

“Dwijendra….beranjaklah ke timur hingga ke timur Bali. Carilah guha (goa) dengan naga yang terjaga. Ratusan tahun lalu, Pertapa suci silih berganti menujunya. Namun hanya Danghyang Kuturan melampaui naga yang dijinaknya. Mendapat Wahyu mulia sesudahnya. Lampauilah lagi naganya. Kelak kan ada Wahyu untukmu.” Seketika Danghyang Palah percikkan tirta disekujur Mpu Dwijendra. Tanda restu memberkati perjalanannya kelak. Telah berlama masiwa hingga manabhe dengan dirinya.

“Mara den turuta… jangan lupakan amanah Paduka Batara Palah. Sebar Wedhatama hingga keturunan-keturunannya di Bedahulu, Silakyuti hingga ke Gurun. Hanya disanalah Siwa dan Budha bercahya”. Tutur Guruaji, sebutan Danghyang Palah (Danghyang Panataran) yang telah mendiksanya.

“Singgih Guruaji..pun pinangkani” ucap Mpu Dwijendra. Tak dinyana menitikkan airmata dijubahnya. Bergegas meninggalkan Candi Palah (Candi Panataran, sekarang). Candi kemandalaan terluas di Jawa. Adanya di Rabut Palah (Di Blitar, sekarang). Telah berdiri megah di jaman Khadiri (prasasti saka 1119, Sri Prabu Srengga Kertajaya). Dirinya pun berjalan sepanjang hari hingga tiba di Gurun (daratan Lombok hingga Sumbawa).

Mpu Dwijendra itulah Danghyang Nirartha. Beliau dianggap sebagai pendeta besar yang fenomenal. Dipercaya masyarakat Hindu di Bali menyebarluaskan pengetahuan tata cara agama yang aplikatif. Watak sang Brahmana yang rendah hati tetapi juga keras dan tegas membuat ketentraman agar damai. Kematian dalam moksanya seakan telah mengakiri konsep Danghyang fenomenal dalam tradisi tokoh besar zaman Hindu Jawa juga Bali. Namun konsep pengabdian dan pemikiran Danghyang Nirartha di jaman sekarang tetaplah diperlukan demi perkembangan keagamaan.

Seseorang yang telah bergelar Danghyang sangat dikeramatkan dan dapat dikatakan bahwa gelarnya tergantung atas Wahyu, tidak bisa dicapai hanya dengan usaha manusia semata. Danghyang harus memiliki kemampuan nawungkridha (kewaskitaan) dan mengetahui rahasia keselarasan jasmani rohani dengan ketajaman pandangan batinnya. Sehingga selain sebagai pendeta utama yang mahir beragama, menjadi pemimpin umat yang memiliki pemikiran tajam (sambegana), menguasai liku-liku segala masalah umat dan apa yang dipikirkan, diucapkan dan diperbuat (trikaya) adalah “pasti” (benar, menjadi kenyataan dan relevan sepanjang jaman). Sehingga seorang Danghyang adalah panutan, tak hanya bagi umat tetapi juga pemerintahan.

Pengembaraan Danghyang Nirartha, dipandang sebagai bentuk perjalanan suci (dharmayatra). menyusuri perjalanan mistik (napak tilas) melalui jalan yang umum dilakukan seperti halnya yang dilakukan oleh para pengembara (sufi). Perjalanan mistiknya dilakukan dengan menggunakan penunjuk jalan. Penunjuk jalannya adalah kekuatan diri yang akan membawanya untuk mencari kemanunggalan. Berbagai tahap (dwija kebatinan) dijalankan hingga mencapai tujuan akhir bersatu dengan Sang Brahman.
Begitulah Tahap akhir. Tersingkapnya rahasia terdalam antara hamba dengan Tuhan. Versi tentang kematiannya yang secara umum dikalangan umat adalah moksanya di karang perbukitan pura Uluwatu. Danghyang Nirartha, dalam perjalanannya adalah wujud totalitas jiwa pengabdian, mendidik umat dengan kepandaian wacananya dan penyadaran umat terhadap berbagai persoalan.

Kita ingin menguak ajaran yang melandasi jalan pemikiran yang ditempuhnya. Kini saatnya tugas umat, mengamanatkannya menjadi jati diri tradisi dan budaya di jaman sekarang yang lebih aplikatif agar tidak kebablasan atau terhempas modernisasi.

Karena itu sepantasnya kita mau terus berusaha mengambil tauladan pengabdian Danghyang Nirartha. Sebagaimana melampaui sang naga penjaga di goa bukit Mpulaki (dalam Samadhi mencapai hening). Samadhinya meraih Wahyu mendirikan dan menegakkan Padmasana. Wahyu yang menandakan dirinya telah mantap kepada Brahman, hanya mengabdi dan tunduk pada Maha Kebenaran. Padmasana, baginya adalah titah Candi Palah (inspirasi baginya) untuk mendirikan dan menegakkan kebenaran. Meneruskan historis Silayukti (inspirasi bagi Danghyang Kuturan) yang lebih dahulu membangun peradaban kebenaran kepada semua keturunan. Keturunan yang setia pada Siwa – Budha, yang kini nyata menyinari pulau Dewata.

Kita merindukan sosok Danghyang Nirartha dijaman sekarang, yang patut dipuji mempraktikkan pengabdiannya dengan membaur diantara manusia biasa tanpa memandang Warna atau Kasta, apalagi kaya atau miskin, Universalis dalam perbedaan agama. Tidak terpengaruh politik dan kekuasaan. Bertanggung jawab untuk pendidikan umat dan generasi mudanya dengan tidak menutup sebelah mata terhadap berbagai penyimpangan di pura (kita sudah teramat tahu dengan penyimpangan yang terjadi sekarang).

Rahayu, rahayu, rahayu. (IP)