SHDN_LOGIP

SHDN-2012

SHDN-2012

13 Sep 2010

Berguru Pada Hyang Widhi

Tiada kebenaran yang mutlak, selalu berganti dan berganti, bagai bunga akan tumbuh kembang berganti meski terlihat sama, juga dari pohon yang sama.Hanya kebenaran dari-Nya yang tiada berganti, mutlak kekal, dan abadi.

Pandanglah hanya diri kita dengan kesederhanaan yang sempurna, kesabaran yang tulus sejati dan kekuatan yang tak bernafsu, kelak inilah senjata-senjata kita bagi musuh dalam diri kita, juga kunci-kunci dari segala pintu penghalang kita.

Maka sesungguhnya kita telah berguru pada-Nya. Karena tiada guru yang sempurna selain Diri-Nya yang Maha Benar dan Maha Suci.
Indraprabudjati

5 Mar 2010

Relokasi SLB-B Jimbaran Karena Ada Diareal Bisnis ?

Ada barometer yang salah dalam menyikapi arti kemajuan dan pertumbuhan pada nilai ekonomi belaka, melalui nota dinas Kepala Disdikpora Bali, perihal relokasi kepada DPRD Badung, menyatakan bahwa lahan SLB-B Jimbaran kedepan kurang representatif untuk sekolah, karena ada diwilayah pengembangan bisnis. Kenapa dinas pendidikan yang berkompeten pada visi-misi pendidikan anak bangsa, memvonis SLB-B Jimbaran yang menjadi binaannya bertahun-tahun, tiba-tiba bersikeras menyatakan sekolah ini berada diareal perkembangan bisnis, dan harus dipindahkan ke Tohpati.

Apakah paradigma budaya orientasi dinas pendidikan provinsi sekarang, tunduk atau terjebak pada materialisasi? Ini pendapat rumusan alasan relokasi yang perlu dikaji ulang.

Semestinya secara matematis, maju pesatnya perkembangan bisnis diareal itu, harus seirama dengan kedewasaan kita pada perilaku, moral dan etika. Tampaknya hal itu malah timpang, adanya SLB-B di Jimbaran, menunjukkan komitmen moral terhadap keseimbangan kedewasaan kita, yang menyirami benih-benih kebajikan menjadi taman kehidupan di Kuta Selatan, dimana semua manusia termasuk anak-anak penyandang cacat, hidup berdampingan, bersenda gurau dan bergandengan tangan. Bukan justru SLB-B diberikan pendapat berada ditempat yang salah, akhirnya terjadi gusur-menggusur, meski dengan kata yang lebih santun, menggagas relokasi SLB-B yang lebih representatif. Padahal bersamaan relokasi, di akhir 2009, Disdikpora Bali baru saja merampungkan gedung baru laboratorium bahasa senilai 900 juta-an. Artinya, gedung baru senilai ratusan juta di kawasan SLB-B Jimbaran, hanya akan berusia singkat digunakan.

Menetapkan secara lebih jelas, cara analisis yang lebih menyakinkan masyarakat, adanya analisis instant lahan SLB-B untuk kepentingan bisnis, menyampingkan prestasi dan jerih payah yang sudah dibangun para pendidik, anak-anak autis, tuna rungu dan tuna wicara di SLB-B Jimbaran. Dilain hal, Justru perusahaan swasta dan asing, hotel berbintang di Jimbaran, Kuta dan Nusa Dua memberikan sumbangan materi, pelatihan kerja bahkan memperkerjakan siswa lulusan SLB-B di hotel, patut diacungi dua jempol!. Nampaknya Disdikpora Bali kalah analisis dengan analisis mereka terhadap keberadaan anak-anak SLB di Jimbaran, padahal kita selalu menunjukkan religius dan berbudaya tradisional ketimbang bangsa barat.

Lagipula tak jauh dari gedung SLB-B Jimbaran, juga ada SDN 06. Apakah SDN 06 juga akan dikenakan perihal yang sama? Bagi masyarakat pengguna SLB-B, ini berindikasi sebuah persepsi munculnya nuansa perbedaan yang kental, anak-anak normal dan penyandang cacat itu berbeda dan harus berbeda.

SLB-B sejak 1984, meski pembangunan fisik sebagai salah satu indeks kemajuan sekolah berpredikat Sekolah Pembina Tingkat Nasional ini, masih jauh dari predikatnya, namun pertumbuhan nilai moralitas dan kualitas pendidikannya sudah bergerak sesuai predikatnya di provinsi Bali. Kenapa harus membuat biaya lain, padahal memperbaikinya adalah gagasan yang jauh lebih bersahaja dan bijaksana. Biaya relokasi puluhan milyar yang telah dianggarkan, justru bisa ditekan dan dialihkan untuk peningkatan fasilitasnya yang sudah tersedia di Jimbaran. Tentunya, kita akan angkat topi setinggi-tingginya dengan apa yang telah dilakukan oleh Gubernur Bali dan Disdikpora Bali, tidak hanya menunjukkan simpati tetapi juga empatinya.

Penafsiran sepihak Gubernur, Disdikpora dan Komisi IV DPRD Bali, mendudukkan posisinya seakan orang tua, anak-anak SLB-B dan masyarakat di Jimbaran tidak terlibat langsung, sehingga aspirasi penolakan relokasi tidak dimediasi dengan kearifan dan sikap ‘legowo’ bersosialisi lebih awal. Sebagai berkumpulnya sarjana-sarjana pendidikan di eksekutif dan legistatif, tentunya profesionalitas seorang pendidik dituntut tidak mudah tunduk pada kepentingan dunia materialitas semata.

Sebagai mayoritas Hindu, kita percaya, peran niskala-sekala pada lingkungan dan tanah SLB-B Jimbaran sudah mendukung, adalah anugerah viveka bagi kita. Kalau kita mengingkarinya, rasanya kita telah mengabaikan nyadnya kita pada amanah leluhur yang menitipkan anak-anaknya pada kita di Jimbaran, yang sedang menjalani kehidupan dengan keterbatasan.

Anak-anak SLB-B di Jimbaran sudah memiliki ‘roh’, ada penyatuan spirit dilingkungannya, nyatanya turut andil memberikan nilai-nilai therapist yang kondunsif dan amat diperlukan dalam tumbuh kembang mental anak-anak SLB-B. Kesolidaritasan orang tua, mampu berpikir konstruktif dari keberagaman suku maupun agama, menyatu dari situasi adanya saling membutuhkan, wujud cinta kasih sesama, seakan sudah digariskan oleh Yang Maha Pencipta. Menjadi bukan soal jarak jauh dekat, tetapi nilai humanis yang ingin dipertahankan. Bila saja, di jajaran eksekutif dan legistatif, memiliki nasib anak-anak yang sama dengan anak-anak SLB, pastinya tak akan ragu melakukan perjuangan yang sama.

Maka, relokasi menjadi beban moral dari harmoni yang sudah terlanjur tercipta, akan ada yang terputus sekolah, meski maksimal gedung barunya di Tohpati, belum tentu optimal siswanya berpindah disana. Bila saja, salah satu temannya tidak bersekolah kesana, maka temannya akan kehilangan. Secara psikis, mengganggu emosionalnya, karena bagi mereka, bersekolah, bukan karena keharusan bersekolah. Pemerintah, masyarakat, pendidik dan orang tua yang berkepentingan menyekolahkan mereka.

Anak-anak tahunya hanya ingin bermain, memilih teman dan saling bersahabat, kehilangan satu sahabat, hilang rasa percaya dirinya dan pupus minatnya bersekolah. Perlu berbulan-bulan untuk mengubah dampak pada psikisnya. Relokasi memberikan dampak psikologis anak-anak SLB-B, dipaksa mengikuti adaptasi lingkungan baru di Tohpati yang jauh berbeda dengan kenyamanan di Jimbaran yang sudah tercipta kondusif dengan luas lahan yang memenuhi manfaat therapis bagi tumbuh kembang anak bertahun-tahun.

Satu hal yang dikesampingkan dari perhatian Gubernur dan Disdikpora Bali, bahwa Infrastruktur yang dibangun dengan konsep lahan di Jimbaran, diperhitungkan anak-anak bisa terhindar dari bahaya gempa bumi, karena anak SLB akan bereaksi lamban ketika ancaman gempa bumi datang. Di Jimbaran, luas taman sebagai areal terbuka ada disetiap gedung satu sama lain saling berjauhan. Setiap gedung sangat minimalis, tidak berliku, memiliki banyak pintu dan jendela keluar. Berbeda di gedung sekolah umum, meminimalisasi areal terbuka, bertingkat, berliku, pintu keluar sempit dan tersembunyi, siswa mudah terjebak didalam gedung ketika dalam keadaan panik.

Terkesan Disdikpora Bali tampak terjebak pada distorsi visi dan misi atasannya sendiri, perannya sebagai Pembina SLB-B, yang memahami betul kualitas prestasi tumbuh-kembang yang sudah terbangun disana, kenapa harus disampingkan, membiarkan lahan SLB-B menjadi pemanfaatan lahan yang insidensial, dan ‘menganugerahi’ SLB-B tidak representatif. Gedung representatif ala Gubernur Bali di Tohpati belum bisa menjamin terciptanya harmoni yang sudah terbangun di Jimbaran. Sedemikian pentingkah lahan itu untuk ditinggalkan, dan adakah suara hati nurani yang lebih pantas, untuk menggantikan SLB-B di Jimbaran.

Kita yakin pemerintah provinsi dan wakil rakyat di DPRD Bali masih malu juga setengah hati berterus terang tentang hal ini. Cerminan tradisi pemerintahan daerah kita, berada pada posisi defensif berhadapan dengan kecenderungan budaya-spiritual Hindu dan moderenis. Ini merupakan cerminan fakta, bahwa otonomi daerah belum tercapai dibidang budaya dan spiritual.

Jika pada konsep Tri Hita Karana, masyarakat diminta menjalankan dengan kepekaan hati, dengan rasa, sedangkan pemerintah sebaliknya, diminta lebih rasional, bijaksana dan selalu adil. Relokasi ke Tohpati, cenderung menonjolkan nostalgia di Jimbaran, ketimbang pendapat representatif yang dimaksud.

ORANG TUA MURID SLB-B JIMBARAN UNTUK SARASEHAN HINDU NUSANTARA

24 Feb 2010

Hari Saraswati: Membaca Buku adalah Swadharma

Dewi Saraswati datang membawa sejuta buku, membagi-bagikan ilmu-Nya, diantara anak-anak kita, agar dapat tumbuh kembang menjadi anak-anak tunas bangsa Indonesia, berjiwa tauladan, mandiri dan berdikari. Sang Hyang Widhi mengutus Dewi Ilmu Pengetahuan ini, untuk hadir ditengah-tengah kita, membawa berkah bagi kehidupan kita semua. Dan kita mencurahkan pemberian-Nya melalui buku-buku yang kita tuliskan, dari generasi ke generasi.

Membaca buku adalah bagian dari ibadah kita, ibadah kepada-Nya, karena buku memberikan inpirasi dan pencerdasan pikiran dan jiwa, dari buku kita menyerapnya dan memberikan sumbangsih pada kita sendiri, keluarga, masyarakat dan bangsa, hal demikian adalah ibadah yang telah kita lakukan sesuai kehendak-Nya, yang telah menganugerahi kita akal dan pikiran yang sehat.

Kini, meski di jaman yang sudah disesaki dengan sejuta buku tentang pencerahan agama kehinduan kita, nyatanya masih merupakan bentuk ibadah yang terbelakang. Keengganan membaca buku pengetahuan agama menjadikan sumber daya umat Hindu paling lemah, hingga melemahkan sistem penyajian komunikasi, metode dan kualitas materinya. Hasilnya, ibadah dipahami dalam bentuk kekayaan ritual, sekelumit upakara dan pergi ke pura yang paling banyak disesaki umatnya hingga yang terkenal kesaktiannya.

Seharusnya kita malu pada Dewi Saraswati, dihari perayaannya, justru buku-buku agama, maupun lontar-lontar sastra kuno tabu dibaca, hanya ditumpuk dan diupacarai, dibuka hanya pada saat keperluan ritual, bukan keperluan untuk dipelajari dan digugah manfaatnya. Upacara hari Saraswati diberatkan pada nilai ritual, dan silih berganti keluar masuk pura tanpa dharmawacana, tanpa upaya mengupas maknanya dengan ceramah dan diskusi agama.

Andai saja Dewi Saraswati marah, tentunya ia takkan datang lagi dengan sejumlah tangan yang membawa sejuta pengetahuan, tetapi membawa sejuta pentungan, memaksa kita menyadari, kehadirannya oleh Sang Pencipta, datang untuk memberdayakan umat kita, agar jangan lagi dibodohi sikap ‘eksklusifisme agama dan tradisi’, saatnya menggunakan akal dan pikiran yang selaras dengan kesadaran-Nya (bermoral dan berbudi luhur sebagaimana sifat-sifat-Nya pada Brahman).

Mari kita sambut dan maknai perayaan Saraswati sebagai inspirasi pencerdasan umat, pemberdayaan dan butir-butir reformasi Hindu Nusantara masa depan!
Rahayu, Indra Prabudjati

Berguru pada Dewi Saraswati

Tersebutlah di parahyangan gunung agung, widadari diatas kahyangan pegunungan yang teramat suci itu, tengah bersenda gurau lepas, menabur bunga-bunga wewangian aneka warna dan sesekali memerciki tirta giri kusuma diatas hamparan pura Besakih, saat tiba menjelang fajar menguning dilangit, yang masih berserakan kabut sutra.

Pagi ini, saniscara umanis, watugunung, tanggal empat belas sasih kasanga 1931 saka, adalah hari perayaan Saraswati, umat di seluruh pelosok Bali dan nusantara tengah bersiap-siap melakukan persembahyangan bersama.

Saat pagi menjelang inilah, Dewi Saraswati berhasrat akan turun ke Bali, dirinyapun bersiap keluar dari istana swargaloka di kahyangan nusantara. Ia disambut widadari kahyangan penuh kehormatan. Dewi Saraswati adalah permaisuri Dewa Brahma, dewi ilmu pengetahuan, kedamaian, seni, musik dan kearifan. Dirinya dilukiskan sedang memegang buku perwujudan pengetahuan Sanghyang Widhi dan alat musik yang mengalunkan nada-nada tembang kebijaksanaan tertinggi, bersama bangau putih, kendaraannya yang setia menemaninya kemana saja.

Setelah mendapat restu dari Dewa Brahma, terbanglah dirinya menaiki burung bangau dan ditemani belasan widadari pengiringnya. Ketika baru turun dari kahyangan, melihatlah dirinya ke gunung agung, tepatnya di puncak kori agung, tampak kejauhan anak muda seorang diri sedang bersemadhi, dihadapan sebuah pelinggih Sanghyang Tunggal yang teramat sederhana, gugusannya terbuat dari batu merah, tersusun bagai meru bertumpang sebelas dan bertedung putih dan kuning. Turunlah dirinya, dihadapan anak muda yang tengah bersikap amustikara itu, terperanjatlah dirinya, lalu bergegas mencakup kedua telapak tangannya, berucap salam padanya. Rasa kagum Dewi Saraswati pada anak muda itu, teguh seorang diri, bersemadhi dipuncak gunung pada perayaan turunnya beliau ke bumi. Sangat jarang didapatnya, anak muda yang bertekad kuat memiliki keinginan berilmu darinya, yang tulus bersusah payah mencapai puncak gunung dan bersemadhi seorang diri.

Dewi Saraswatipun bertanya padanya, gerangan apa yang anak muda itu inginkan, dalam pertapaannya di kedinginan gunung agung seorang diri. Pemuda itu mengatakan pada Dewi bahwa dirinya tengah bersemadhi, menunggu Dewi Saraswati turun dari kahyangan pada perayaan Saraswati nanti, karena dirinya sangat memohon anugerah ilmu darinya, kelak ingin mengabadikan sinar ajaran kepandaian Dewi Saraswati sebagai seorang siswa yang berguna.

Lalu sang Dewi pun mengabulkan permohonannya, dirinyapun memberikan pelajaran pada anak muda itu tentang ilmu menjadi guru bagi dirinya sendiri, sekaligus menjadi seorang siswa adhikari, tuntunan mennjadi seorang umat muda dengan spiritual yang baik, mampu menahan dirinya dari perbuatan buruk dan terus mengembangkan sifat-sifat Sanghyang Widhi kedalam dirinya.

“Sebaiknya diingat-ingat nasihatku ini, dirimu yang berhati teduh, bening dan berbudi mulia, sabar dan cerdas dalam segala sesuatu. Tak mau lupa diri, hingga masih senang ingin mendapat ilmu dariku. Mantapkan hati kedalam kebajikan, dan pesanku padamu, bersyukurlah dengan penerimaanmu, kepandaian akan ilmu dariku semua itu sudah ada dalam hatinya setiap manusia, sebab itu orang-orang muda harus sering bertanya jangan malu kelihatan bodohnya, dari bodoh pintar bermula, rajin-rajinlah mencari ilmu untuk memperkuat diri. Karena pengetahuan tentang ajaranku ini tak akan turun tanpa membebaskan dirimu dari kemalasan dan kebodohan.”

“Janganlah lalai dari puja trisandhya (doa pertemuan pagi, siang dan malam) janganlah berhenti pujastuti kepada Sanghyang Widhi, agar terjaga pikiran dan hatimu itu dengan kepandaian dan kebajikan dari-Nya. Hanya kedisplinan pada puja trisandhya, yang bisa memelihara ajaran kepandaianku tetap dalam anugerah-Nya“ Anak muda itu mengangguk berulang-kali penuh semangat.

“Peganglah ajaranku ini anakku, Sanghyang Widhi sudah menganugerahi kita semua dengan rasa ajaib penuh rahasia, yaitu ada pada manas (pikiran), buddhi (akal kecerdasan), indriya (panca indera), sarira (badan) dan atma-mu (sukma) itu. Oleh karena itu kerjakanlah nitya-jnana (pengetahuan abadi) dengan kebajikan itu siang dan malam, agar dapat bertemu dengan-Nya (sifat-sifat-Nya) yang tak dapat dipakai dengan kepandaian pikiran belaka, yang begini bila tercapai, maka sesungguhnya engkau adalah siswa yang telah berguru pada-Nya dan bahkan pula, terbayarkan hutang-hutangmu kepada kedua orangtuamu, terutama ibu yang melahirkan dan menjagamu” Ucap Dewi Saraswati penuh keibuan.

Dewi Saraswatipun semakin mendekatkan dirinya pada anak muda itu, dibelailah kepalanya dengan kasih sayangnya, laksana ibunda pertiwi dengan ananda kesatrianya.

“Anakku, mencapai ilmu kepandaian yang tinggi tidak ada jalan lain kecuali berlaku sabar, sebagaimana engkau mencapai puncak gunung tidak dengan tergesa-gesa, bulan pun bertambah besar sedikit demi sedikit untuk menerangi bumi, pohon beringin pun berasal dari benih yang sangat kecil dan tidak tumbuh besar seketika, ringkasnya jagalah kepandaianmu hingga menjadi tinggi dengan benih-benih kebajikan saja, yang demikian akhirnya menjadi sempurna, tidak ada yang kurang apalagi hilang (abadi).”

“Turunlah engkau dari puncak gunung, kembalilah memulai hidupmu menjadi siswa yang tekun, patuhlah pada kedua orang tuamu juga gurumu, pelajarilah ilmu kepandaian dengan kebajikan dan kesabaran, niscaya engkau akan menjadi siswa yang berguna bagi nusa dan bangsa, senang hati Sanghyang Widhi menganugerahimu, kelak kamu akan menjadi siswa yang kaya raya dalam dharma, senantiasa berhasil dalam segala cita-cita.”

Anak muda itu senang hatinya, berterima kasih dan berpamit mohon diri, perlahan menuruni bebatuan yang curam dari ketinggian gunung Agung. Beriringan dengan widadari kahyangan, mengiringi Dewi Saraswati melanjutkan darmayatra, meninjau pura-pura luhur sad kahyangan dipulau seribu pura, memberikan restu dan menganugerahi ilmu-ilmu kepandaiannya pada semua umat dengan senyum dan penuh kasih, di perayaan saraswati yang membahagiakan.

Anak muda itupun berjalan ceria, menuai harapan dari kejauhan, seandainya orang-orang cendikiawan, guru dan pemimpin bangsa ini, tak berharap tanda jasa, sepi dalam pamrih, sadar mengabadikan ajaran kepandaian pada dirinya, mengutamakan ilmu untuk kebajikan bukan untuk keangkuhan, kekuasaan dan kekayaan semata.

Tentunya akan banyak generasi muda menjadi siswa yang disiplin, patuh dan tekun menimba ilmu pengetahuan dengan kebajikan, sadar pada masa depannya bersama membawa negeri nusantara tercinta ini, lepas dari kemerosotan moral dan korupsi yang membudaya generasi ke generasi.
Rahayu,Indraprabudjati 24022010

22 Jan 2010

Bedanya Danghyang Nirartha Dan Syekh Siti Jenar

“Hamba sampai di Bali, ketika hamba bertapa di Rabut Palah. Alangkah susahnya mencapai Bali, dengan menaiki perahu bocor melawan gulungan ombak yang dashyat.”

Danghyang Nirartha adalah guru mistik cemerlang, Ia adalah tokoh mistik sejati yang menguasai lintas agama. Ia dikenal sebagai guru, sekaligus pendeta utama yang menyebarkan ajaran Padmasana di tanah Bali secara konstektual. Meski berkultur budaya keJawa-an (kejawen), tetapi dirinya pemeluk militan Budha Jawa (mahayana dalam konsep kawruh budhi), tetapi ketika di Bali, dirinya mahir berperilaku Siwa, di Lombok lain lagi, sungguh piawai berbicara Islam. Dasar penyampaian dirinya, adalah realitas, selalu disesuaikan dengan kondisi Bali. Tidak seperti Adipati Samprang, yang serta-merta me-Majapahitkan budaya dan agama orang Bali asli. Tak ayal menimbulkan konflik, padahal mereka jauh lebih dulu ada bersama dijamannya Rsi Markandeya dan jamannya Mpu Kuturan. Sungguh, Danghyang Nirartha menyadari dan mengilhaminya.

Pengalaman beliau ketika Majapahit sirna, ajaran pembebasan sudah begitu mendapat tempat dihati kaum miskin. umat yang terkekang konsep kasta. Di Jawa, begitu Sunan Kali Jaga datang menyebarkan dakwah pembebasan, dan kesederhanaan beribadah, Islam berbudaya Jawa, hasilnya diluar perkiraan, serta merta banyak yang meninggalkan kepercayaan Hindunya, masuk Islam karena pembebasan dari kasta, warna dan wangsa.

Adalah aneh, jikalau Danghyang Nirartha, malahan mengilhami konsep perbedaan wangsa, kaum brahmana, ksatrya dan sudra. Padahal, Beliau tahu betul, Islamisasi di Jawa yang telah berkembang cepat, membawa pesan kesetaraan, tanpa wangsa adalah modal utamanya, menarik sebanyak mungkin Hindu dan Budha menerima Islam. Kelak bisa saja, Islam (Demak) atau Kristen (Portugis saat itu) akan mudah masuk ke Bali dan menyebarkan pola yang sama, kesetaraan di Bali!

Danghyang Nirartha, berada di Jawa dan mengenal betul figur Syekh Siti Jenar yang fenomenal, banyak disegani rakyat tetapi dimusuhi para Wali Islam dan Raja Demak. Banyak pembesar di Majapahit, termasuk Adipati Pengging berhubungan dengan Syekh, tanpa meninggalkan kehinduannya. Syekh itu juga seorang Wali Islam, Adipati Demak yang meski ajaran keIslamannya tidak lagi diakui Demak, nyatanya, Syekh memiliki gerakan penyebaran ajarannta terbanyak ketimbang Wali lain. Syekh menolak Islamisasi di Jawa dengan peperangan, dan yang menyebabkan Syekh semakin tidak disukai Wali Lain adalah karena gencar menolak penyerangan Raden Patah ke Majapahit, dan perlawanan itu berhasil, meski setelah Syekh dan Raden Patah sama-sama meninggal, Demak melalui penerusnya baru kemudian menguasai Majapahit.

Syekh memang piawai berpikir, idenya membawa solusi jitu, paling tidak sudah bisa mempengaruhi Demak untuk tidak melakukan ekspansi ke timur Jawa terlebih Majapahit, apalagi Majapahit adalah kerabat leluhurnya yang tentunya tidak akan tiba-tiba menyerang Demak begitu saja. Alibi Syekh adalah; Demak semestinya melihat Portugis sebagai saingan, bukanlah Majapahit. Karena pada jaman itu, Majapahit nyatanya tak peduli meski Demak selama itu sedang gencar memperluas Islam di Jawa. Majapahit sudah diricuhi selisih keluarga, saling berperang diantara keluarga merebut tahta atas nama keturunannya sendiri-sendiri.

Bagi Syekh, sudah sejak dahulu Majapahit menerima kehadiran penyebar Islam seperti Sayid Jamaluddin Ibnu Hussein dan Sunan Ampel. Sayid Jamaluddin bahkan telah dilegitimasi oleh Majapahit dengan sebuah tanah perdikan Islam. Pada masa Sunan Ampel, ketika Sunan Ampel meninggal, Prabu Brawijaya V menganugerahi Romo Bayan Ampel. Kenyataan historis inilah yang dijadikan dasar Syekh untuk menentukan ukuran sikap Demak terhadap Majapahit. Meskipun pada akhirnya bagi para wali dan Demak, jelas ada pandangan bahwa hanya Islam, satu-satunya agama yang diakui, dan dilegimasi dengan pernyataan bahwa agama raja adalah agama yang harus diikuti rakyatnya. Jelas berbeda dengan prinsip keagamaan Majapahit yang tidak pernah memberlakukan satu agama ataupun agama raja harus dianut sama oleh semua rakyatnya.

Syekh beralasan, karena kelak bila dihabisi, tak akan menyurutkan agama asli, Hindu dan Budha di Nusantara, tetap akan memunculkan kerajaan Hindu baru, mengingat jumlah pemeluk agama asli, Hindu, Budha masih banyak dan mengakar di Jawa.

Dan itulah pemikiran teorinya, meski Hindu-Budha tidak lagi di Jawa, nyatanya Bali malah menjadi embrio baru, lahir dan besar sebagai wilayah ‘kerajaan’ Hindu besar dijamannya, pun nyatanya Hindu ala Indonesia itu, tetap eksis di jaman modern sekarang! Seolah Alam nusantara berkata lain, dengan keberadaan Bali, kita melihat dunia yang berbeda, pulau kecil yang tak punya sumber daya alam, tetapi bisa terkenal melebihi Indonesia!

Bagi Syekh, sebagian besar orang Jawa memiliki akar pemahaman ajaran Hindu dan Budha yang kuat pada nilai-nilai budaya dan jati diri leluhurnya ketimbang nama besar agamanya! Dan benar, umat Hindu di nusantara, mempertahankan kepercayaan Hindunya, lebih karena mencintai rasa pada bathiniahnya bukan lahiriahnya! Persoalan kafir atau musrik, itu hanya pandangan, Syekh menyadari bukanlah esensi dari ajaran dharma Hindu dan Budha itu. Oleh karena itu, Syekh berpandangan penyebaran Islam di Jawa harus disadari dengan cara pemahaman Islam yang selama ini didengungkannya. Nyatanya lebih mudah diserap dan diterima dengan baik gerakan pengikutnya.

Raden Patah akhirnya memilih memperluas wilayah bukan dari timur Jawa, tetapi cenderung ke barat Jawa hingga Palembang dan Jambi. Karena sudah nyata, Portugis semakin menjalin pengaruh pada kerajaan-kerajaan strategis dinusantara. Jadi memanglah benar bahwa Raden Patah bukanlah penyerang Majapahit, karena Raden Patah sampai meninggal, diakhir masa pemerintahannya masih dalam ekspansi ke wilayah tengah dan barat Jawa, Jakarta dan Sumatera. Raja penggantinya adalah yang terekam sejarah dalam perebutan kekuasaan di Majapahit dan hampir sebagian timur Jawa.

Johor sudah melepaskan diri dari Majapahit, karena sudah lebih dulu bersekutu dengan Portugis, tepatlah dugaan Syekh, selatan Sumatera dan wilayah barat Jawa akan dipengaruhi politik dagang ala Kristen Portugis. Cirebon dan Pajajaran sudah terbukti tidak mau tunduk semenjak Gajah Mada dulu.

Ceritanya jaman kemasyhuran Syekh ketika itu, adalah ketika sebagian besar masyarakat Jawa waktu itu lebih banyak memilih menjalankan ajaran Islam Syiah. Dan Syekh Siti Jenar adalah guru agama beraliran Syiah yang termasyhur pada jamannya. Maka oleh penguasa Demak Syekh dianggap sebagai penyebar pengikut Aliran Syi’ah di Jawa kala itu, (Raden Patah bukan dari aliran Syi’ah, melainkan berasal dari Aliran Sunni bermazhab Hanafi -lantaran warga keturunan Cina di Jawa bermazhab Hanafi)maka Syekh dijerat pasal hukuman tentang penyebaran ajaran sesat dan dia dijatuhi hukuman mati oleh penguasa Demak. Dengan cara demikian lumpuhlah para pelaku dharma Syi’ah Jawa (Islam ala Jawa), sehingga dukungan terhadap Raden Patahpun semakin menguat.

Aliran Syi’ah berorientasi pada syariat yang lebih menekankan pada ajaran kebatinan. Dan, kelihatannya golongan Syi’ah lebih mudah diterima dan dijalankan oleh orang Jawa yaitu Syi’ah yang berpaham Wujudiyyah atau Manunggaling Kawula klawan Gusti. Ajaran inti dari Wujudiyyah ialah segala sesuatu yang maujud ini merupakan emanasi atau percikan sinar Ilahi.

Alasan lain untuk menghukum mati Syekh Siti Jenar adalah karena dia menjadi guru agama bagi empat puluh adipati, termasuk gurunya Raden Kebo Kenongo alias Ki Pengging (raja bawahan Majapahit yang menguasai daerah Pengging) yang menjadi pesaing Raden Patah dalam kelanjutan tahta Majapahit dan sekaligus ahli waris sahnya. Ki pengging adalah sosok ahli waris utama Majapahit ketika itu, jelas memiliki potensi kuat yang berlawanan dengan Raden Patah sebagai penguasa baru di Jawa. Meski Syekh Siti Jenar menjadi guru spritualnya, tetapi tidak berarti Ki Pengging masuk Islam.

Ajaran Syekh Siti Jenar ini memiliki pengaruh luar biasa di masyarakat Islam di Jawa, terutama pedalaman Jawa Tengah. Hal inilah yang justru mengkhawatirkan Raden Patah terhadap kerajaannya yang masih baru berdiri dan bisa meruntuhkan kekuatan penyebaran Islam baru di Jawa.

Jadi, sebenarnya bukan ajaran Syekh Siti Jenar itu yang ditakuti oleh Raden Patah, dan bukan pula kesesatan ajarannya, sebab ajaran yang dipegang oleh para wali itupun ajaran Manunggaling Kawula-Gusti. Contohnya, sampai hari ini makrifat Manunggaling Kawula Gusti yang berasal dari Sunan Kudus tetap berkembang di Indonesia.

Raden Patah berhasil mendirikan Kerajaan Demak berkat dukungan adipati-adipati yang ada di pesisir Jawa Tengah dan Jawa Timur yang di kemudian hari disebut sebagai para wali, yang sering disalahpahami sebagai ulama penyebar agama Islam. Padahal, yang menyebarkan agama Islam adalah para pedagang, sedangkan yang disebut “Wali Sanga” itu bukanlah pedagang, meski ketika mudanya di antara para wali, seperti Sunan Giri, ada yang berdagang. Para anggota Wali Sanga adalah adipati yang bergelar “sunan” dan memiliki daerah kekuasaannya sendiri-sendiri.

Sebagai penguasa-penguasa kadipaten, mereka menerapkan prinsip agama ageming aji. Setiap warga di kadipaten itu diseru, diajak, untuk memeluk atau menjalankan ajaran Islam, Setiap warga negara Kesultanan Demak diwajibkan untuk mengikuti agama raja.

Aliansi masyarakat Jawa Islam dan Cina Islam yang tinggal di pesisir Jawa inilah yang kelak mendorong lahirnya Kesultanan Demak Bintoro yang raja pertamanya adalah Raden Patah.(KEJAWEN: SUATU SISTEM ISLAM SEBAGAI SOLUSI TANTANGAN ZAMAN Oleh: Ir. Achmad Chodjim Shaleh, MM).

Kesultanan Demak mengikatkan diri dengan Kekhalifahan Utsmani di Turki untuk menghadapi perlawanan para pengikut Syekh Siti Jenar, dan secara perlahan-lahan Mazhab Hanafi digeser dan digantikan oleh aliran Islam Mazhab Syafii yang memang sudah berkembang kuat di Semenanjung Malaka. Mazhab Syafii pun lebih fleksibel dalam menghadapi tradisi yang sudah mengakar di tengah masyarakat Jawa. Ajaran Islam mazhab Syafii juga lebih dekat dengan praktik-praktik keagamaan aliran Syi’ah.

Meskipun ajaran Syekh Siti Jenar yang egaliter dan berpegang pada pluralisme dalam Islam ajaran itu dibasmi habis-habisan, namun nyatanya ajaran yang disebut Islam Jawa ini tetap eksis di dalam Kesultanan Demak. Sunan Kalijaga yang di satu sisi sebagai penasihat Sultan Trenggana (Sultan Demak III), namun di sisi lain dia adalah guru bagi Jaka Tingkir (anak Ki Pengging, dan akhirnya dapat mendirikan Kesultanan Pajang), Ki Gede Pamanahan, Ki Panjawi, dan Ki Juru Amartani.

Setelah masa Syekh dihukum mati dan pengikutnya berhasil dipersempit gerakannya, Demak mulai menyerang semua wilayah Majapahit, bukan oleh Raden Patah, tetapi oleh anak dan cucunya, Pati Unus dan Trenggana. Pati Unus berhasil menggeser Prabhu Dyah Wijayakarana Girîndrawarddhana hingga pindah ke Klin, Daha dan beberapa tahun kemudian, Trenggana akhirnya membumihanguskan Majapahit dinasti Girîndrawarddhana di Daha. Sisa Majapahit hanya tinggal Lumajang dan Blambangan, namun belakangan Lumajang sirna, tunduk pada Demak, pelarian Majapahit yang tak puas, mulai banyak merambah Semeru, Tengger dan Bromo. (bersambung)
------------------------------------------------------------------------------------

“Penunjuk jalan yang hamba terima dari Paduka Bhattara Palah selalu hamba genggam erat, hingga akhirnya, laksana hamba menemukan cikal Majapahit Baru, Waturenggong yang lugu tapi bijak, dan orang-orang Bali yang tak lain Jawa masa lalu, Majapahit yang kehilangan ratu adilnya”

Lain Syekh, lain halnya Danghyang Nirartha. Baru muncul setelah Syekh tinggal nama. Kemunculannya di Bali sebagai pendeta besar yang fenomenal. Wataknya berbeda dengan Syekh, yang lugas berpolitik dan senang berbicara apa adanya, kebalikan dengan Sang Brahmana ini, mudah iba, amat rendah hati, selalu mengalah, sedikit bicara, tetapi juga keras dan tegas, dan perbedaan yang mencolok dengan Syekh, Brahmana ini tak senang berpolitik.

Semasa Syekh hidup, Brahmana sakti wawu rawuh ini sudah meninggalkan hiruk pikuk Majapahit. Dirinya sudah lama berada di Rabut Palah. Di Candi Palah yang kesohor mengulas ajaran Siwa dan Budha. Titah dari Candi Palah, membawa amanah Danghyang Palah hingga Silayukti, agar mengembara mencari ilmu rahasia menuju kemanunggalan (moksa).

Titahnya, menyebarkan dharma kemanapun mengembara, agar jangan pernah berhenti, meski hanya sekedar minum. Hanya moksa lah yang menghentikannya.

Sayang, Brahmana ini memang mudah sekali iba, dirinya selalu mudah diminta untuk tinggal ditempat yang dia singgahi. Hingga kerap selama tinggal, selalu ada intrik, buruk sangka juga fitnah, yang menjadikan beliau terperangkap dalam perjalanannya sendiri, kisah memilukan hatinya ketika di Blambangan, adalah awal dari kelengahan beliau terhadap amanah Danghyang Palah, untuk selalu tidak berlama-lama berhenti berjalan.

Danghyang Nirartha memprihatinkan perbedaan kasta, warna dan wangsa yang kuat melekat pada orang Bali, apa yang dialaminya, ketika Wali-wali Islam di Jawa, yang mudah menyulap orang Jawa Hindu menjadi Islam, adalah keinginan orang Jawa membebaskan dirinya dari kasta yang mengikat.

Baginya, adalah kemunduran bertradisi, perbedaan wangsa di Bali nyata dilihat tinggi rendah status orangnya, bukan peran dan tanggung jawabnya.Jelas baginya, akan menimbulkan persaingan tanpa akhir, banyak merugikan dan lepas dari peran tanggung jawabnya, sebagai keturunan brahmana, maupun kesatria, yang semestinya saling melengkapi, bukan saling menggungguli. (bersambung)

-------------------------------------------------------------------------------------

Ketinggian ilmu kedua tokoh agama ini, mengundang curiga, sama-sama dianggap punya ilmu sihir! Padahal, yang membuat keduanya terkenal, adalah karena keteladanan dan sikapnya yang egaliter, merasa sama dengan semua orang, meski yang satu wali Islam dan yang satu brahmana Hindu , sama-sama tak soal untuk ‘duduk dibawah sama tinggi sama rendah!’

Danghyang Nirartha selama di Bali, bukan karena diundang seperti brahmana-brahmana Jawa sebelumnya, muncul dengan sendirinya dan hilang dengan sendirinya pula, begitu misterius, mistik dan fenomenal.

Beliau dihadapkan penyimpangan ritual agama dan konflik antar wangsa dan kasta. Beliau dipercaya Raja Gel Gel, dan berhasil menggugah Bali, membangun nilai-nilai historis Majapahit yang aplikatif, disesuaikan dengan sifat dan tradisi Bali, bukan pada kastanya, tetapi gubahan parahyangan pura-pura di Bali, inspirasi penegakkan Padmasana, serta pelaksanaan agama dan upacaranya.

Beliau, mengilhami dan mengembalikan Triwangasa, pada kesadaran peran dan tanggung jawabnya, bukan untuk saling mengungguli juga membedakannya, karena baginya, semua adalah setara, dan setara bagi yang miskin papa sekalipun!

Danghyang Nirartha paham betul, bahwa konsep Triwangasa, adalah konsep hidup beramal sesuai peran, kemampuan dan tanggung jawabnya, salah bila untuk memisah-misahkan dan merendahkan umat lain dalam bentuk apapun.

Persembahan apapun bagi beliau, Tuhanlah yang diutamakan, oleh karena itu, Tuhan tidak membedakan orang itu, karena dengan mengutamakan Tuhan yang terutama, wajib rasanya kita bertanggung jawab mengedepankan orang lain sama dihadapan-Nya!

Landasan pikiran Danghyang Nirartha, tentang Triwangasa adalah, manusia harus bekerja saling melengkapi bukan saling mengungguli. Perbedaan ini adalah pekerjaan, bukan predikat yang sebenar-benarnya yang akan dipersembahkan pada hari akhir-Nya.

Bila itu terjadi sungguh, dirinya akan dihempas kembali seperti yang ia lakukan terhadap orang lain, yang dianggap lebih rendah dari dirinya, bahkan mungkin lebih rendah dari yang sekarang, demikianlah karma adanya. Dirinya yang taat pada asal usulnya yang Jawani, Budha Mahayana cara Jawa, mampu memahami penjelmaan Siwa cara Bali dan tahu tata cara Islam yang sederhana, takkan mengingkari juga menodai kawruhnya sendiri, dirinya meski brahmana, lintas agama, tapi tetap tunduk pada kawruh budhi pekerti luhur, ajaran tradisi leluhurnya sendiri.

Beda dengan Syekh selama di Jawa, Syekh tidak pernah merasa dirinya diselisih paham dengan sesama Wali, yang membuat Raja Demak membencinya dan menyeretnya pada tiang gantungan, akibat tuduhan Sunan Bonang dan Sunan Giri, menyebut ajarannya sesat! Padahal inti persoalannya, hanya pada sikap pertentangan politik islamisasi berbudaya arab di Jawa. Dan Sunan KaliJaga yang dikenal dekat dengan Syekh, menyadari itu, Islam cara Jawa nyatanya, membuat Syekh, orang Jawa dan Islam, seperti satu dalam wadah.

Patut kita sadari, agar jangan kedua tokoh ini, seolah kepergian Syekh di Jawa, menyamar menjadi Danghyang Nirartha di Bali. Padahal kedua tokoh ini, berbeda perangai dan karakternya, juga beda pengabdiannya, meski sama-sama datang tiba-tiba, guru mistik dan fenomenal! (habis)

------------------------------------------------------------------------------------
Indra Prabudjati

21 Jan 2010

2010: Menunggu Kebangkitan Majapahit ?

OM Swastyastu,

Majapahit banyak meninggalkan legenda kebesaran imperiumnya di abad silam, Sujiwo Tejo dalam tulisannya di Jawa Pos mengutip buku Prof. Arysio Nunes Dos Santos, Atlantis: The Lost Continent Finally Found, tahun 2005, menunjukkan bahwa kerajaan Atlantik yang pernah berjaya dan sampai sekarang misterius, Sujiwo Tejo beranggapan bisa jadi tempatnya tidak dimana-mana…ya di nusantara ini.

Temuan pakar Amerika latin yang terjemahan Indonesianya terbit Desember 2009. Dennys Lombard, melalui bukunya Nusa Jawa; Silang Budaya. antropolog Perancis juga menggarisbawahi secara lebih detail dan menyakinkan soal betapa istimewanya kedudukan nusantara (Sriwijaya dan Majapahit) dulu, sekarang (Indonesia) maupun, seharusnya dimasa yang akan datang.

Di awal 2010 ini, meskipun pesimistis, melihat gejolak politik perhatian pada kasus Cicak Melawan Buaya, dan skandal Bank Century juga kasus perhatian pada gerakan semilyar koin keadilan bagi Prita Mulyani, ditambah dengan rasa duka cita kepergian almarhum Gus Dur yang fenomenal dan sangat peduli pada keberagaman beragama, rasanya, masih banyak keraguan untuk optismistis 2010, sebagai awal kebangkitan Indonesia.

Persoalan kasus ketidakadilan dan markus-markus hukum yang banyak mencuat, mengawali 2010 sebagai rasa optimis juga pesimis akan menjadikan hukum kembali tegak adil dan beradab di negeri ini. Di bagian lain, ancaman bencana dimusim penghujan seakan juga membayang-bayangi roh spirit kebangkitan Indonesia.

Dalam mitologi Sabdapalon Naya Genggong, mengurai bentuk keprihatinan mendalam perilaku anak bangsa yang lupa hakikat dan martabat diri, bablas menghujat budaya leluhurnya sendiri, perilaku fanatisme agama yang diegokan, dan sedihnya justru korupsi, kolusi dan nepotisme menjadi lebih dibudi-budayakan. Bisa dibayangkan bahwa selama 64 tahun merdeka, korupsi masih menjadi momok yang sulit diberantas.

Suara Tuhan dalam amanah rakyat, ironinya lebih kuat Suara Setan dalam jiwa pemimpin, pejabat juga tokoh masyarakat yang justru dipercaya dan dipilih rakyat.

Kegandrungan merindukan hadirnya Ratu Adil juga Satria Paningit, tak lepas dari harapan menunggu janji kebangkitan Majapahit. Kini latahisme Majapahit sudah kian lama subur dihati rakyat kecil, seakan menagih janji-janji Sabda Palon Naya Genggong, awal takdir melawan ketidakadilan wong cilik yang telah banyak dibuat susah dinegerinya sendiri, yang bisa saja, kita katakan sudah diawali dengan lahirnya masa reformasi 1998-1999 yang baru berlalu, runtuhnya raja Jawa Orde Baru, dan lahirnya raja Jawa Orde Reformasi, dengan kemunculan Susila Bambang Yudhoyono yang tak dikira-kira, dipilih dan dipercaya jutaan rakyat hingga untuk keduakalinya. Meski banyak yang meragukan, adanya politik perhatian pada kasus Bank Century telah meneggelamkan program 100 harinya, tetapi paling tidak sudah banyak perubahan bagi sebagian besar 200 juta umat manusia, untuk berharap, semakin mendekatkan bangsa dan negaranya pada kehadiran Ratu Adil yang diidam-idamkan, yang akan membawa kembali kejayaan imperium Majapahit (Indonesia) kelak, paling tidak bisa dirasakan sepuluh tahun kemudian (2020).

Sudah barang tentu kita masih tidak lagi sabar menunggu kiranya gerangan wajah presiden yang akan muncul di 2014 dan 2019 nanti. Harapannya adalah Satria yang akan membawa kemakmuran, kesejateraan dan keadilan.
Tetapi, mana mungkin bila hanya menunggu munculnya Satria Paningit di pemilu 2014 atau 2019, kalau kita sebagai generasi muda bangsa hanya duduk, diam dan duit?

Mana mungkin Sabda Palon Naya Genggong akan menang membawa takdirnya, bila kita tidak merubah perilaku juga tabiat yang masih saling menghujat dan adu-bener dalam soal budaya juga agama? Juga bagaimana mungkin tercapai, bila umat Hindu di Bali, Jawa maupun Nusantara masih beribadah untuk kegandrungan mitoisme, feodalisme juga mistisme, ketimbang semangat menyederhanakan ritual dan meningkatkan perilaku yang lebih memiliki gagasan-gagasan revitalisme baru untuk kepentingan yang lebih besar dijaman yang penuh ancaman globalisasi juga moderenisasi.

Padahal kunci dari keberhasilan janji ramalan Sabda Palon Naya Genggong, mengutamakan senjata andalannya bukan keris, trisula ataupun bambu runcing, atau cuma mengandalkan sensasi kerauhan massal berharap dari petunjuk niskala, tetapi adalah Budhi!

Ini jelas bukan tafsir dari segala tafsir yang ada untuk mengatasnamakan kebangkitan untuk Siwa Budha, Budha, Hindu, Islam, Kristen, Katholik juga Kong Hu Cu, tetapi mengangkat senjata ‘Budhi’ yaitu, Budhi pekerti, Budhi susila, Budhi luhur, jelasnya menjadikan bangsa yang kembali Ber’Budhi’! Karena semua agama maupun kepercayaan di Indonesia mengedepankan Budhi, Dharma, Ahlak, Kasih juga Kemuliaan.

Mitologi Sabda Palon Naya Genggong oleh Jayabaya bukan untuk membawa anak cucunya ke medan perang agama sesama saudara sebangsa, tetapi mengajak perang kita terhadap perilaku yang tak lagi ber’budhi’, kembali menjadi jutaan umat yang berbudhi, menjadikan peradaban Indonesia menjadi lebih berbudhi dan beradab.

Aneh rasanya bila dikalangan umat beragama di Indonesia masih ada saling dendam saling jotos juga saling sebut kafir, hanya karena keegoan beragama, jelas sudah, budhi dalam agamanya luntur. Dan yang salah bukan agamanya tapi dirinya sendirinya.

Kita sudah harga mati untuk setuju, bahwasanya wasiat luhur juga warisan leluhur tak ternilai harganya adalah Bhinneka Tunggal Ika. Beragama untuk menunjukkan berbalas santun kebaikan bukan berbalas pantun keburukan. Maka jadilah generasi Hindu Nusantara penerus Majapahit (Indonesia) yang berBudhi dan berReligius dengan sesanti kautamaning urip; mengutamakan si Budhi bukan si Ego.

Bangkitlah generasi penerus Majapahit, dengan giat belajar dan bekerja keras, bukan ramai-ramai membangkit-bangkitkan roh niskala leluhur Majapahit, terjebak pada kesurupan massal ala Majapahit, mudah terjebak pragmatis baru. Majapahit sudah runtuh, bila baik cukup disambut sebagai bagian apresiasinya pada budaya, bila kurang baik jangan ditiru.

Majapahit sejatinya adalah Indonesia yang sekarang, sudah terlalu banyak yang mengklaim keturunan-keturunannya yang membawa wahyu Sabda Palon, bisa menjebak generasi muda Hindu Nusantara dalam persaingan antar tinggi rendahnya status soroh, tentunya menjadi lebih banyak merugikan nantinya.

Inspirasi Kebangkitan Majapahit adalah simbol identitas perjuangan baru melawan korupsi, kebodohan dan kemerosotan moral bangsa Indonesia pasca reformasi 1998. Bukan diartikan kebangkitan adanya agama baru, raja baru, kelompok Majapahit baru, atau anda yang tiba-tiba dirasuki gelar majapahit baru; karena itu semua hanya dalam bentuk apresiasi yang terjadi dimasyarakat, bukan itu yang hendak disampaikan oleh Jayabaya, juga Ranggawarsita dalam ulasan Sabda Palon Naya Genggong, disetiap kelahiran generasi muda mendatang, kelak memimpin negeri ini adalah penyandang wahyu, wahyu dari leluhur kita, inspirasi Jaya Baya, karena beliaulah yang menuliskan legenda itu, bagi kita agar wajib mengembalikannya pada jaman keemasan.

Sejatinya, tidak ada penunjukkan pemegang wahyu Sabda Palon, karena sekali lagi hanyalah kisah fiktif, namun berisikan pesan moral yang bisa dimaknai sebagai ramalan kuno. Begitulah awicara sastra-sastra Jawa, paramasastra dan mardibasanya menyiratkan wejangan juga wedharan, kemampuannya bernawungkrida dapat bermakna ngerti sadurunge winarah, memahami kejadian yang akan datang.

Ramalannya dapat kita pahami, tetapi bukan disikapi tanpa rasa bijaksana juga irrasional, seolah dipaksa masuk diakal tanpa ada upaya mencerahkan kecerdasan spiritualnya.

Semoga, Shanti, Shanti, Shanti a Jaya,
Damai Negeriku, Jaya Negeriku, Makmur Negeriku