OM Swastyastu,
Majapahit banyak meninggalkan legenda kebesaran imperiumnya di abad silam, Sujiwo Tejo dalam tulisannya di Jawa Pos mengutip buku Prof. Arysio Nunes Dos Santos, Atlantis: The Lost Continent Finally Found, tahun 2005, menunjukkan bahwa kerajaan Atlantik yang pernah berjaya dan sampai sekarang misterius, Sujiwo Tejo beranggapan bisa jadi tempatnya tidak dimana-mana…ya di nusantara ini.
Temuan pakar Amerika latin yang terjemahan Indonesianya terbit Desember 2009. Dennys Lombard, melalui bukunya Nusa Jawa; Silang Budaya. antropolog Perancis juga menggarisbawahi secara lebih detail dan menyakinkan soal betapa istimewanya kedudukan nusantara (Sriwijaya dan Majapahit) dulu, sekarang (Indonesia) maupun, seharusnya dimasa yang akan datang.
Di awal 2010 ini, meskipun pesimistis, melihat gejolak politik perhatian pada kasus Cicak Melawan Buaya, dan skandal Bank Century juga kasus perhatian pada gerakan semilyar koin keadilan bagi Prita Mulyani, ditambah dengan rasa duka cita kepergian almarhum Gus Dur yang fenomenal dan sangat peduli pada keberagaman beragama, rasanya, masih banyak keraguan untuk optismistis 2010, sebagai awal kebangkitan Indonesia.
Persoalan kasus ketidakadilan dan markus-markus hukum yang banyak mencuat, mengawali 2010 sebagai rasa optimis juga pesimis akan menjadikan hukum kembali tegak adil dan beradab di negeri ini. Di bagian lain, ancaman bencana dimusim penghujan seakan juga membayang-bayangi roh spirit kebangkitan Indonesia.
Dalam mitologi Sabdapalon Naya Genggong, mengurai bentuk keprihatinan mendalam perilaku anak bangsa yang lupa hakikat dan martabat diri, bablas menghujat budaya leluhurnya sendiri, perilaku fanatisme agama yang diegokan, dan sedihnya justru korupsi, kolusi dan nepotisme menjadi lebih dibudi-budayakan. Bisa dibayangkan bahwa selama 64 tahun merdeka, korupsi masih menjadi momok yang sulit diberantas.
Suara Tuhan dalam amanah rakyat, ironinya lebih kuat Suara Setan dalam jiwa pemimpin, pejabat juga tokoh masyarakat yang justru dipercaya dan dipilih rakyat.
Kegandrungan merindukan hadirnya Ratu Adil juga Satria Paningit, tak lepas dari harapan menunggu janji kebangkitan Majapahit. Kini latahisme Majapahit sudah kian lama subur dihati rakyat kecil, seakan menagih janji-janji Sabda Palon Naya Genggong, awal takdir melawan ketidakadilan wong cilik yang telah banyak dibuat susah dinegerinya sendiri, yang bisa saja, kita katakan sudah diawali dengan lahirnya masa reformasi 1998-1999 yang baru berlalu, runtuhnya raja Jawa Orde Baru, dan lahirnya raja Jawa Orde Reformasi, dengan kemunculan Susila Bambang Yudhoyono yang tak dikira-kira, dipilih dan dipercaya jutaan rakyat hingga untuk keduakalinya. Meski banyak yang meragukan, adanya politik perhatian pada kasus Bank Century telah meneggelamkan program 100 harinya, tetapi paling tidak sudah banyak perubahan bagi sebagian besar 200 juta umat manusia, untuk berharap, semakin mendekatkan bangsa dan negaranya pada kehadiran Ratu Adil yang diidam-idamkan, yang akan membawa kembali kejayaan imperium Majapahit (Indonesia) kelak, paling tidak bisa dirasakan sepuluh tahun kemudian (2020).
Sudah barang tentu kita masih tidak lagi sabar menunggu kiranya gerangan wajah presiden yang akan muncul di 2014 dan 2019 nanti. Harapannya adalah Satria yang akan membawa kemakmuran, kesejateraan dan keadilan.
Tetapi, mana mungkin bila hanya menunggu munculnya Satria Paningit di pemilu 2014 atau 2019, kalau kita sebagai generasi muda bangsa hanya duduk, diam dan duit?
Mana mungkin Sabda Palon Naya Genggong akan menang membawa takdirnya, bila kita tidak merubah perilaku juga tabiat yang masih saling menghujat dan adu-bener dalam soal budaya juga agama? Juga bagaimana mungkin tercapai, bila umat Hindu di Bali, Jawa maupun Nusantara masih beribadah untuk kegandrungan mitoisme, feodalisme juga mistisme, ketimbang semangat menyederhanakan ritual dan meningkatkan perilaku yang lebih memiliki gagasan-gagasan revitalisme baru untuk kepentingan yang lebih besar dijaman yang penuh ancaman globalisasi juga moderenisasi.
Padahal kunci dari keberhasilan janji ramalan Sabda Palon Naya Genggong, mengutamakan senjata andalannya bukan keris, trisula ataupun bambu runcing, atau cuma mengandalkan sensasi kerauhan massal berharap dari petunjuk niskala, tetapi adalah Budhi!
Ini jelas bukan tafsir dari segala tafsir yang ada untuk mengatasnamakan kebangkitan untuk Siwa Budha, Budha, Hindu, Islam, Kristen, Katholik juga Kong Hu Cu, tetapi mengangkat senjata ‘Budhi’ yaitu, Budhi pekerti, Budhi susila, Budhi luhur, jelasnya menjadikan bangsa yang kembali Ber’Budhi’! Karena semua agama maupun kepercayaan di Indonesia mengedepankan Budhi, Dharma, Ahlak, Kasih juga Kemuliaan.
Mitologi Sabda Palon Naya Genggong oleh Jayabaya bukan untuk membawa anak cucunya ke medan perang agama sesama saudara sebangsa, tetapi mengajak perang kita terhadap perilaku yang tak lagi ber’budhi’, kembali menjadi jutaan umat yang berbudhi, menjadikan peradaban Indonesia menjadi lebih berbudhi dan beradab.
Aneh rasanya bila dikalangan umat beragama di Indonesia masih ada saling dendam saling jotos juga saling sebut kafir, hanya karena keegoan beragama, jelas sudah, budhi dalam agamanya luntur. Dan yang salah bukan agamanya tapi dirinya sendirinya.
Kita sudah harga mati untuk setuju, bahwasanya wasiat luhur juga warisan leluhur tak ternilai harganya adalah Bhinneka Tunggal Ika. Beragama untuk menunjukkan berbalas santun kebaikan bukan berbalas pantun keburukan. Maka jadilah generasi Hindu Nusantara penerus Majapahit (Indonesia) yang berBudhi dan berReligius dengan sesanti kautamaning urip; mengutamakan si Budhi bukan si Ego.
Bangkitlah generasi penerus Majapahit, dengan giat belajar dan bekerja keras, bukan ramai-ramai membangkit-bangkitkan roh niskala leluhur Majapahit, terjebak pada kesurupan massal ala Majapahit, mudah terjebak pragmatis baru. Majapahit sudah runtuh, bila baik cukup disambut sebagai bagian apresiasinya pada budaya, bila kurang baik jangan ditiru.
Majapahit sejatinya adalah Indonesia yang sekarang, sudah terlalu banyak yang mengklaim keturunan-keturunannya yang membawa wahyu Sabda Palon, bisa menjebak generasi muda Hindu Nusantara dalam persaingan antar tinggi rendahnya status soroh, tentunya menjadi lebih banyak merugikan nantinya.
Inspirasi Kebangkitan Majapahit adalah simbol identitas perjuangan baru melawan korupsi, kebodohan dan kemerosotan moral bangsa Indonesia pasca reformasi 1998. Bukan diartikan kebangkitan adanya agama baru, raja baru, kelompok Majapahit baru, atau anda yang tiba-tiba dirasuki gelar majapahit baru; karena itu semua hanya dalam bentuk apresiasi yang terjadi dimasyarakat, bukan itu yang hendak disampaikan oleh Jayabaya, juga Ranggawarsita dalam ulasan Sabda Palon Naya Genggong, disetiap kelahiran generasi muda mendatang, kelak memimpin negeri ini adalah penyandang wahyu, wahyu dari leluhur kita, inspirasi Jaya Baya, karena beliaulah yang menuliskan legenda itu, bagi kita agar wajib mengembalikannya pada jaman keemasan.
Sejatinya, tidak ada penunjukkan pemegang wahyu Sabda Palon, karena sekali lagi hanyalah kisah fiktif, namun berisikan pesan moral yang bisa dimaknai sebagai ramalan kuno. Begitulah awicara sastra-sastra Jawa, paramasastra dan mardibasanya menyiratkan wejangan juga wedharan, kemampuannya bernawungkrida dapat bermakna ngerti sadurunge winarah, memahami kejadian yang akan datang.
Ramalannya dapat kita pahami, tetapi bukan disikapi tanpa rasa bijaksana juga irrasional, seolah dipaksa masuk diakal tanpa ada upaya mencerahkan kecerdasan spiritualnya.
Semoga, Shanti, Shanti, Shanti a Jaya,
Damai Negeriku, Jaya Negeriku, Makmur Negeriku