Ajaran Dharma adalah kesempurnaan hidup
“Adanya Dharma diinspirasikan Dari-Nya”
Dharma adalah ajaran berbudhi pekerti luhur. Dharma merupakan prinsip-prinsip dari kebajikan, kesejatian, kemurnian dan semuanya adalah kesatuan. Tentang ajarannya yang diilhami dari Sifat-sifat-Nya yang Mutlak.
Dharma Membuka Semua Rahasia Hidup Kita
“Tiada ditutupi kebenaran itu Oleh-Nya”
Ketika kita memutuskan untuk mempelajari Dharma, maka kita dipersiapkan untuk menjadi pengembara di Jalan-Nya menuju puncak Keberadaan-Nya. Segala sesuatu yang nampak tidak berkenan dengan kemuliaan sanubari akan segera disingkirkan dan menggantinya dengan hal-hal yang lebih berguna.
Dengan Dharma Segala Sesuatu Bisa Berubah
“Anugerah-Nya adalah harapan kita”
Apakah kita dialiri dengan impian hidup yang membahagiakan?
Begitulah kita yang selalu berharap menempatkan segala keinginan yang kita cita-citakan disetiap langkah. Dengan Dharma yang kita pelihara dan tumbuh-kembangkan senantiasa. Kita bisa mempercayai sepenuh hati bahwa dengan kedisiplinan pada Dharma, kita akan memahami kebiasaan kurang baik dalam diri yang disembunyikan sudah tak dapat kita pertahankan lagi. Segala sesuatu yang sangat tak menyenangkan, mengurangi kenyamanan dan meniadakan kebahagiaan adalah ketidakberhasilan kita menangani keseimbangan lahir bathin yang ingin kita capai.
Maka seharusnya bila saja kehidupan kita yang lebih banyak menikmati pengorbanan dari semua peristiwa yang kita alami, justru dengan keteguhan pada ajaran Dharma, kita semakin ditantang untuk menghidupkan ketegasan gambaran nasib apa yang hendak kita capai kelak. Rasakanlah sejelas-jelasnya gambaran nasib yang kita harapkan menjadi impian yang membumi. Kenali lagi dengan sesadar-sadarnya agar dapat memicu ketegasan kita bertindak hingga semakin mendekati tujuan itu. Hidupkan impian kita pada kehidupan yang membahagiakan, pekerjaan dan prestasi kita bahkan kehidupan sosial kita, bisa berbagi dengan orang-orang yang kita cintai.
Biarkan mimpi, gagasan maupun ide yang lebih berani lagi sepanjang itu adalah kebaikan menurut Dharma, dilakukan mengalir dikhayalan kita. Karena ini semua adalah keinginan yang muncul dari harapan kita mencapai kehidupan duniawi yang membahagiakan dan menghadapi kematian dengan kerelaan.
Sungguh kita akan kagum sekaligus haru, saat kita menyadarinya begitu banyak pengalaman hidup dalam kesulitan, penderitaan juga kekecewaan berkepanjangan terus menerus membebani kita bertahun-tahun lamanya. Disamping rasa ketidakpastian, enggan lagi mendengar kata-kata motivasi yang hanya diwacanakan tetapi sulit dilakukan, karena rasa pesimis bagai asap dari kayu yang kita bakar menutupi semua mata pikiran kita.
Jadi ajaran Dharma agar jangan dipahami sebagai penyerahan diri tanpa keinginan dan membiarkan proses hidup kita menjadi pasif, seakan menempatkan semua harapan nasib dan takdir pada jalan kebajikan yang dikira selalu monoton, tidak inspiratif, kuno dan terikat.
Bila kita menyakini bahwa dengan keteguhan menjalankan Dharma pada setiap kaki ini melangkah, nyatanya akan banyak pencapaian nasib baik dari yang tidak kita sangka-sangka, bahwa perjalanan hidup kita menjadi anugerah yang ajaib.
Kekuatan diri juga keteguhan pada Jalan-Nya adalah yang menentukan nasib dan takdir kita, menjalani karma bukan lagi dengan menyerah atau masa bodoh, tetapi melaluinya dengan kekuatan pribadi yang diilhami Dharma sebagai tantangan untuk tidak larut dalam penderitaan karma dan selalu ada inspirasi untuk memperbaikinya.
Dharma Dapat Memecah Karma
“Kekuasaan-Nya menghendaki Kehendak-Nya ”
Kekuatan Dharma adalah keyakinan dan keteguhan kita pada kehendak-Nya. Ia terus berjalan tanpa harus terhenti karena ketakutan yang tak berimbang, kekalahan dari kegagalan, keputusasaan apalagi penyerahan tanpa solusi.
Dharma begitu mengikat erat pada kita yang sudah menyerahkan diri pada-Nya. Sehingga Hyang Widhi pun tak berkenan kita meninggalkannya. Selalu saja ada penghalang bagi kita untuk berbuat yang tidak baik. Maka Dharma dapat memecah cermin-cermin karma yang membias pada diri kita, sehingga kita tak dapat lagi merasakan beban hidup berkepanjangan mengikuti panjangnya cermin. Dengan pecahnya karma maka kita diberikan kesempatan yang lebih baik untuk menaiki anak-anak tangga spiritual kita, tanpa harus berlama-lama dalam karma.
Kita telah mengikuti nasib yang diinginkan kita sendiri dan dapat selaras dengan alam yang bersahabat dengan karma kita (kemudahan Dari-Nya dalam menjalani karma dan kemurahan Hati-Nya melaluinya dengan tanpa harus berlama-lama hidup dalam keterikatan karma masa lalu. Adanya sebuah perubahan dan perbaikan).
Salam Dharma...!
26 Des 2011
20 Des 2011
Rindukan Sosok Danghyang Nirartha Dijaman Sekarang
Tersebutlah Danghyang Palah.
Berbadan kurus namun tinggi kulitnya hitam legam. Memakai jubah putih. Rambutnya digelung hingga ubun-ubun. Dahinya digaris kapur sirih. Sambil membawa tongkat trisula, perlahan mendekat Mpu Dwijendra, di pelataran candi yang seluruh tubuh candinya dililit oleh naga, didukung sembilan tokoh arca membawa genta juga relief kura-kura yang diatasnya menanggung puncak gunung Mahameru.
“Dwijendra….beranjaklah ke timur hingga ke timur Bali. Carilah guha (goa) dengan naga yang terjaga. Ratusan tahun lalu, Pertapa suci silih berganti menujunya. Namun hanya Danghyang Kuturan melampaui naga yang dijinaknya. Mendapat Wahyu mulia sesudahnya. Lampauilah lagi naganya. Kelak kan ada Wahyu untukmu.” Seketika Danghyang Palah percikkan tirta disekujur Mpu Dwijendra. Tanda restu memberkati perjalanannya kelak. Telah berlama masiwa hingga manabhe dengan dirinya.
“Mara den turuta… jangan lupakan amanah Paduka Batara Palah. Sebar Wedhatama hingga keturunan-keturunannya di Bedahulu, Silakyuti hingga ke Gurun. Hanya disanalah Siwa dan Budha bercahya”. Tutur Guruaji, sebutan Danghyang Palah (Danghyang Panataran) yang telah mendiksanya.
“Singgih Guruaji..pun pinangkani” ucap Mpu Dwijendra. Tak dinyana menitikkan airmata dijubahnya. Bergegas meninggalkan Candi Palah (Candi Panataran, sekarang). Candi kemandalaan terluas di Jawa. Adanya di Rabut Palah (Di Blitar, sekarang). Telah berdiri megah di jaman Khadiri (prasasti saka 1119, Sri Prabu Srengga Kertajaya). Dirinya pun berjalan sepanjang hari hingga tiba di Gurun (daratan Lombok hingga Sumbawa).
Mpu Dwijendra itulah Danghyang Nirartha. Beliau dianggap sebagai pendeta besar yang fenomenal. Dipercaya masyarakat Hindu di Bali menyebarluaskan pengetahuan tata cara agama yang aplikatif. Watak sang Brahmana yang rendah hati tetapi juga keras dan tegas membuat ketentraman agar damai. Kematian dalam moksanya seakan telah mengakiri konsep Danghyang fenomenal dalam tradisi tokoh besar zaman Hindu Jawa juga Bali. Namun konsep pengabdian dan pemikiran Danghyang Nirartha di jaman sekarang tetaplah diperlukan demi perkembangan keagamaan.
Seseorang yang telah bergelar Danghyang sangat dikeramatkan dan dapat dikatakan bahwa gelarnya tergantung atas Wahyu, tidak bisa dicapai hanya dengan usaha manusia semata. Danghyang harus memiliki kemampuan nawungkridha (kewaskitaan) dan mengetahui rahasia keselarasan jasmani rohani dengan ketajaman pandangan batinnya. Sehingga selain sebagai pendeta utama yang mahir beragama, menjadi pemimpin umat yang memiliki pemikiran tajam (sambegana), menguasai liku-liku segala masalah umat dan apa yang dipikirkan, diucapkan dan diperbuat (trikaya) adalah “pasti” (benar, menjadi kenyataan dan relevan sepanjang jaman). Sehingga seorang Danghyang adalah panutan, tak hanya bagi umat tetapi juga pemerintahan.
Pengembaraan Danghyang Nirartha, dipandang sebagai bentuk perjalanan suci (dharmayatra). menyusuri perjalanan mistik (napak tilas) melalui jalan yang umum dilakukan seperti halnya yang dilakukan oleh para pengembara (sufi). Perjalanan mistiknya dilakukan dengan menggunakan penunjuk jalan. Penunjuk jalannya adalah kekuatan diri yang akan membawanya untuk mencari kemanunggalan. Berbagai tahap (dwija kebatinan) dijalankan hingga mencapai tujuan akhir bersatu dengan Sang Brahman.
Begitulah Tahap akhir. Tersingkapnya rahasia terdalam antara hamba dengan Tuhan. Versi tentang kematiannya yang secara umum dikalangan umat adalah moksanya di karang perbukitan pura Uluwatu. Danghyang Nirartha, dalam perjalanannya adalah wujud totalitas jiwa pengabdian, mendidik umat dengan kepandaian wacananya dan penyadaran umat terhadap berbagai persoalan.
Kita ingin menguak ajaran yang melandasi jalan pemikiran yang ditempuhnya. Kini saatnya tugas umat, mengamanatkannya menjadi jati diri tradisi dan budaya di jaman sekarang yang lebih aplikatif agar tidak kebablasan atau terhempas modernisasi.
Karena itu sepantasnya kita mau terus berusaha mengambil tauladan pengabdian Danghyang Nirartha. Sebagaimana melampaui sang naga penjaga di goa bukit Mpulaki (dalam Samadhi mencapai hening). Samadhinya meraih Wahyu mendirikan dan menegakkan Padmasana. Wahyu yang menandakan dirinya telah mantap kepada Brahman, hanya mengabdi dan tunduk pada Maha Kebenaran. Padmasana, baginya adalah titah Candi Palah (inspirasi baginya) untuk mendirikan dan menegakkan kebenaran. Meneruskan historis Silayukti (inspirasi bagi Danghyang Kuturan) yang lebih dahulu membangun peradaban kebenaran kepada semua keturunan. Keturunan yang setia pada Siwa – Budha, yang kini nyata menyinari pulau Dewata.
Kita merindukan sosok Danghyang Nirartha dijaman sekarang, yang patut dipuji mempraktikkan pengabdiannya dengan membaur diantara manusia biasa tanpa memandang Warna atau Kasta, apalagi kaya atau miskin, Universalis dalam perbedaan agama. Tidak terpengaruh politik dan kekuasaan. Bertanggung jawab untuk pendidikan umat dan generasi mudanya dengan tidak menutup sebelah mata terhadap berbagai penyimpangan di pura (kita sudah teramat tahu dengan penyimpangan yang terjadi sekarang).
Rahayu, rahayu, rahayu. (IP)
Misteri Ajaran Padmasana Danghyang Nirartha
“Apakah Sang Empu seorang pandita dari Majapahit?” Tanya Paduka Dalem Waturenggong.
“Benar Paduka Dalem, beliau keturunan Danghyang Smaranatha yang juga keturunan Empu Bharadah” ucap Kiyai Dauh beberapa bulan sebelum diperintahkan Paduka Dalem menjemput Danghyang Nirartha ke desa Mas dan mengundang singgah ke istananya.
“Keturunannya Danghyang Smaranatha? Sungguhkah? Bagaimana rupanya?” Lagi Paduka Dalem Waturenggong tertarik lebih mendalam.
“Beliau bertutur kata, setelah belajar lama di Rabut Palah, dirinya pun memiliki titah Candi Palah memperbaiki perkembangan agama, juga bercita-cita mengubah pemujaan siwa dari arca-arca dan mandir dengan menambah Padmasana didalam sanggah pemrajan juga di pura-pura lainnya, Padmasana digunakan untuk memuja Sanghyang Widhi Wasa”
“Apa itu Padmasana? Apakah sama dengan Lingga-Yoni yang ditanah Jawa?” Tanyanya lagi
“Menurut tuturan dari orang-orang di Gading Wangi, Sang Empu berucap bahwa Padmasana bukanlah sebuah bongkahan batu, arca atau mandir yang digunakan banyak orang dalam manembah. Adalah plinggih suci untuk men-stana-kan Sanghyang Widhi Wasa sebagai simbolis Buwana Agung, sehingga kedudukannya dapat memperjelas antara plinggih pemujaan untuk keberadaan Sanghyang Widhi Wasa dan plinggih untuk roh suci leluhur.
Serupa tugu meninggi berbentuk kursi kosong yang disamakan dengan tahta tertinggi simbolisme Tuhan yang tak berwujud, juga kekuasaan-Nya yang tak dapat dibatasi, karenanya dimaknai kosong (tanpa wujud) dan tak terlihat (tanpa batas). Kegunaannya adalah merupakan pancaran semua aura cahaya suci dan mulia, membangkitkan kesadaran tertinggi untuk memuja-Nya secara utuh, artinya hanya Padmasanalah yang dipuja tertinggi dibanding tugu, gedong, arca maupun mandir apapun. Begitulah yang hamba ketahui, Paduka” jelas Kiyai Dauh.
Ketika berada di Bukit Mpulaki, Sang Empu mengingat apa yang telah dititahkan Danghyang Palah silam mencari goa yang dimaksudkannya untuk mendapatkan wahyu yang akan diembannya kelak. “Irika guha ta dunung kang tinuju…”gumamnya.
Bertemulah dirinya dengan sebuah goa yang teramat sunyi, beliau masuk hingga kedalamnya dan terhuyung diantara tanah berlumpur kotoran kelelawar, hingga wajah dan badannya kehitaman seakan tertutup lumpur, tak kuasa bangun hingga langsung tak sadarkan diri. Selama beliau tak sadarkan diri, merasakan dimimpikan bertemu seekor naga besar yang membukakan mulutnya, sehingga dirinya masuk kedalam mulutnya dan berjalan keujung lidahnya, terlihatlah sebuah bayangan cahya putih yang menyebabkan beliau terkesima, dilihatnya cahya itu seakan menyerupai sekuntum bunga kumuda (teratai putih) yang sangat rupawan memikat hatinya, seakan cahya putih yang datang dari Yang Maha Pencipta.
Seketika terbangun dirinya, kembali menelusuri dalamnya goa hingga bermuara pada gumuk lebar menganga dan bermata air ditengahnya. Dirinya terantuk kedalam sumber air dan jatuh terduduk ditengah hingga lagi tak kuasa bangun. Lalu sekonyong mengambil sikap tangan seperti bunga kumuda hingga bersamadhi mencapai hening. Pancaran dalam mimpi sebelumnya laksana menjadi nyata dalam heningnya, bunga kumuda memperlambang keberadaan Hyang Widhi telah menyatu didalam dirinya sendiri. Itulah Atman yang bercahyakan Brahman.
Sang Empu menyatakan hanya butuh sikap sederhana untuk mencapai perwujudan-Nya dalam cahya yang menyinari jiwa kita sendiri, mengikis adharma dan mempertebal dharma dalam diri. Cukuplah sudah kita mengambil banyak simbolisme atau paham-paham yang membuat kita melebar jauh dalam tradisi beragama, sehingga keberadaan-Nya yang Maha Utama tertutupi oleh berbagai pemujaan (ritual) manifestasi-Nya. Kelak anak-cucu kita akan lebih meyakini manifestasi-Nya (memperkaya ritual dan persembahannya) ketimbang merasakan adanya Brahman dalam diri (memperkaya budhi, tatwa dan susilanya).
Begitulah penuturan Danghyang Nirartha akan pentingnya mengutamakan pemujaan kepada Sanghyang Widhi Wasa. Dengan tanpa menenggelamkan tradisi adat yang sudah mengagamakan umat Hindu di Jawa maupun di Bali. Beliau justru terus berusaha menyederhanakan tradisi adat menjadi lebih mengutamakan perannya untuk memperkaya rasa rumangsa kita pada Batara Sinuhun Hyang Tunggal (Tuhan Yang Maha Esa) melalui adanya Padmasana.
Seakan dirinya berisyarat “Mana yang didahulukan? Persembahan apapun, hendaknya IA yang diutamakan”. Dengan demikian kita tak akan pernah melenceng dari-Nya.
Paduka Dalem Waturenggong turut menyadarkan dirinya sendiri pada pandangan sang guru Danghyang Nirartha, tegas mengelak bila roh dalam kematiannya nanti distanakan layaknya dewa sebagaimana tradisi kematian raja-raja di Singasari maupun Majapahit, karena Padmasana yang diajarkan padanya telah mempertebal keyakinan dirinya terhadap adanya kekuasaan yang lebih tinggi dari hanya seorang keturunan raja bahkan leluhur yang telah didewakan.
“ Iti aran Padmasana yeku Sang Hyang Widhi Wasa apan sedhengah akang gumelar tan hana kang kawawa endha denira” ujarnya mantap menyatakan sebutan Padmasana sebagai simbolisme Tuhan Yang Maha Kuasa, sebab segala apapun yang terhampar dibumi ini tidak akan terlepas dari hukum-Nya.
Kehadiran Danghyang Nirartha ratusan tahun silam, mutlak kita pertajam ajaran konsep pemikirannya tentang Padmasana, mutlak rasanya diwacanakan dan didharmakan umat Hindu Nusantara. Dan kini Padmasana sudah ada dimana-mana, bukti kita sudah melakukan sembah rasa bhakti pada-Sang Hyang Widhi Wasa dan mengisyaratkan keberadaan-Nya yang dekat dengan kita, dirumah kita dan didalam diri kita sendiri.
“Ajwa salah panampa sun prapta arsa bineneraken lakunira ikang sasar mogha walik dadi hayu labda smirta ika” (Janganlah salah arti, saya datang justru akan meluruskan perbuatanmu yang keliru semoga dapat kembali sadar dan baik) ungkapan tegas Danghyang Nirartha wujud wahyu Yang Maha Kuasa, mengabarkan umat tentang kemurnian meyakini keberadaan Roh-Nya yang mutlak juga tunggal tanpa dikaitkan nama-nama manifestasi apapun dan diutamakan juga didahulukan dari persembahan dan pemujaan apapun.
Meski Diri-Nya adalah Mahadewa sebagaimana Brahma, Wisnu dan Siwa tetaplah kesatuan bagi-Nya dan tunggal pengertiannya dalam wujud Padmasana (singgasana Sang Buwana Agung). Ini menegaskan tiada perbedaan bagi-Nya apalagi perbedaan nama dewa, sekte, warna atau kasta yang dianut manusia sendiri adalah sama (tiada yang dibedakan) dihadapan Padmasana-Nya.
Oleh karenanya Padmasana bukan diklaim untuk manifestasi-Nya, karena kursi-Nya (tahta kekuasaan-Nya) bukan untuk diduduki manifestasi-Nya. Padmasana ditujukan untuk keberadaan yang realitas Ada (kursi-Nya) Hyang Brahman yang menginspirasi berbagai manifestasi.
Hanya kita saja bagai tak pernah menyadari bahwasanya (Padmasana yang berdiri tegak dirumahnya) ada didalam diri kita sendiri, begitulah misteri piwulang padmasana (Hyang Brahman) bersembunyi dalam jiwa kita mengujinya’.
Rahayu, Rahayu, Rahayu.
Indra Prabudjati - tulisan ini pernah dimuat di Majalah Raditya dan Majalah Pasek (SHDN)
Dharma Melepas Ikatan Kesulitan Hidup
Om Swastyastu,
Salam Dharma Sahabat Muda Hindu Indonesia
Sebagai umat muda yang beranjak dewasa, akan menjadi sadar tantangan masa depannya. Disaat inilah akan berbalik memperhatikan dirinya juga sekelilingnya. Ia menemukan dirinya dalam roda kehidupan yang dipaksa ikut berputar. Roda mengingatkannya pada sesuatu yang bergerak maju. Inilah roda takdir baginya, yang tidak selalu memberikan apa yang kita inginkan. Maka roda nasib kita sendiri harus bisa dikendalikan sendiri, bukan dibiarkan meluncur tanpa kemudi.
Roda takdir inilah karma sebenarnya yang ingin menunjukkan sahabat harus lakukan dalam memajukan diri. Roda takdir bukan perjudian nasib, meski banyak orang menyakini adanya perjudian keberuntungan atau kegagalan.
Jangan hiraukan dari sebutan perjudian nasib, karena sahabat harus melakukannya dengan kesungguhan dan kewaspadaan. Bukan malah ikut menjatuhkan diri kedalam karma perjalanan nasib kita tanpa kesadaran dan perbaikan. Perjudian hanya ingin memenangkan nasib tapi masa bodoh dari kekalahan. Dan cara itu adalah pembodohan nasib, karena kita justru membuat karma lain diatas karma sebenarnya.
Kita hidup bukan untuk itu, semua peristiwa nasib baik atau tidak bernasib baik nyatanya memiliki peran memajukan kita. Inilah saatnya mengenang perbuatan dan pengalaman yang kita sadari tak dapat bertahan lama. Setiap hari, setiap bulan kita harus ada kesadaran berbuat Dharma dari setiap kesalahan dan ketidak-mengertian kita. Hanya satu cara terbijaksana melepas ikatan karma kesulitan hidup, yaitu dengan kedisiplinan berdharma. Kita sangat yakin bahwa Sanghyang Widhi berkuasa untuk memberikan yang termudah dan terbaik bagi siapapun yang mau bersungguh-sungguh pada-Nya.
Harus ada ketegasan dan keputusan melepas tali-tali ikatan menggantung harapan dan membiarkan kesempatan berlalu begitu saja. Inilah kesadaran yang kita tunggu, menemukan keseimbangan dan keselarasan kembali pulih. Sangat tidak baik mengeluh, hidup dalam pesimis sama dengan membuat beban baru. Jangan hanya bersikap menunggu dan menerima karma, sangatlah pasif dan tidak mendukung samasekali kesadaran adanya karma untuk perubahan dan perbaikan karma sahabat sendiri.
Lakukanlah, demi perubahan dan perbaikan sepenuh hati menuju tujuan semula. Tujuan yang sahabat citakan, dari doa dan harapan ayah-ibu juga kekasih kita. Karena kita sama-sama memiliki peran tanggung-jawab pada orang yang kita kasihi dan cintai. Jangan sia-siakan mereka hidup dalam penderitaan oleh ketidakmampuan kita menjalankan perputaran roda nasib-takdir kita sendiri.
“Om Hyang Widhi,
Semoga ada nasib baik bagiku
Karuniakan kami jalan terbaik
Apapun pemberian-Mu
Aku terima dengan sepenuh hati
Semoga kebaikan datang dari segala penjuru
Om Shanti Shanti Shanti Om”
“Bersungguhlah dalam Dharma, tiada sulit hidupmu melangkah”
Semoga terlaksana – SHDN/IP
Salam Dharma Sahabat Muda Hindu Indonesia
Sebagai umat muda yang beranjak dewasa, akan menjadi sadar tantangan masa depannya. Disaat inilah akan berbalik memperhatikan dirinya juga sekelilingnya. Ia menemukan dirinya dalam roda kehidupan yang dipaksa ikut berputar. Roda mengingatkannya pada sesuatu yang bergerak maju. Inilah roda takdir baginya, yang tidak selalu memberikan apa yang kita inginkan. Maka roda nasib kita sendiri harus bisa dikendalikan sendiri, bukan dibiarkan meluncur tanpa kemudi.
Roda takdir inilah karma sebenarnya yang ingin menunjukkan sahabat harus lakukan dalam memajukan diri. Roda takdir bukan perjudian nasib, meski banyak orang menyakini adanya perjudian keberuntungan atau kegagalan.
Jangan hiraukan dari sebutan perjudian nasib, karena sahabat harus melakukannya dengan kesungguhan dan kewaspadaan. Bukan malah ikut menjatuhkan diri kedalam karma perjalanan nasib kita tanpa kesadaran dan perbaikan. Perjudian hanya ingin memenangkan nasib tapi masa bodoh dari kekalahan. Dan cara itu adalah pembodohan nasib, karena kita justru membuat karma lain diatas karma sebenarnya.
Kita hidup bukan untuk itu, semua peristiwa nasib baik atau tidak bernasib baik nyatanya memiliki peran memajukan kita. Inilah saatnya mengenang perbuatan dan pengalaman yang kita sadari tak dapat bertahan lama. Setiap hari, setiap bulan kita harus ada kesadaran berbuat Dharma dari setiap kesalahan dan ketidak-mengertian kita. Hanya satu cara terbijaksana melepas ikatan karma kesulitan hidup, yaitu dengan kedisiplinan berdharma. Kita sangat yakin bahwa Sanghyang Widhi berkuasa untuk memberikan yang termudah dan terbaik bagi siapapun yang mau bersungguh-sungguh pada-Nya.
Harus ada ketegasan dan keputusan melepas tali-tali ikatan menggantung harapan dan membiarkan kesempatan berlalu begitu saja. Inilah kesadaran yang kita tunggu, menemukan keseimbangan dan keselarasan kembali pulih. Sangat tidak baik mengeluh, hidup dalam pesimis sama dengan membuat beban baru. Jangan hanya bersikap menunggu dan menerima karma, sangatlah pasif dan tidak mendukung samasekali kesadaran adanya karma untuk perubahan dan perbaikan karma sahabat sendiri.
Lakukanlah, demi perubahan dan perbaikan sepenuh hati menuju tujuan semula. Tujuan yang sahabat citakan, dari doa dan harapan ayah-ibu juga kekasih kita. Karena kita sama-sama memiliki peran tanggung-jawab pada orang yang kita kasihi dan cintai. Jangan sia-siakan mereka hidup dalam penderitaan oleh ketidakmampuan kita menjalankan perputaran roda nasib-takdir kita sendiri.
“Om Hyang Widhi,
Semoga ada nasib baik bagiku
Karuniakan kami jalan terbaik
Apapun pemberian-Mu
Aku terima dengan sepenuh hati
Semoga kebaikan datang dari segala penjuru
Om Shanti Shanti Shanti Om”
“Bersungguhlah dalam Dharma, tiada sulit hidupmu melangkah”
Semoga terlaksana – SHDN/IP
19 Des 2011
Tawur Agung Ekadasa Rudra 1963
Ekadasa Rudra menjadi upacara agama umat Hindu terbesar. Karena itu harus dilakukan dipura terbesar dan sementara ini menurut catatan sejarah yang ada baru hanya pernah dilakukan di Pura Besakih.
Bencana alam dan sosial diacu sebagai pertimbangan untuk perlunya penyelenggaraan upacara ini. Tetapi memiliki batasan penggunaan acuan tersebut dengan penetapan waktu yang berdasarkan setiap sepuluh atau seratus tahun atau bahkan ada sebagian pendapat yang memandang tanpa adanya interval waktu, dengan mengacu pada perlunya penyelanggaraan bila telah terjadi bencana besar, berkepanjangan dan memakan korban dan kerugian sangat besar.
Ritual ini dikenal dengan nama Eka Dasa Rudra (pemujaan terhadap 11 Kala Rudra, yang menguasai bhuta/kala di setiap arah penjuru angin). Tujuan ritual ini adalah memohon keseimbangan jagat dengan tujuan untuk menjauhkan manusia dari bencana dan memberikan kesejahteraan.
Eka Dasa Rudra adalah serangkaian upacara besar yang memakan waktu lebih dari 2 bulan untuk menuntaskannya. Dari rangkaian ritual tersebut yang menjadi bagian terpenting adalah Tawur Eka Dasa Rudra, dalam konteks ini Yadnya/bhakti (sesaji) ditujukan kepada kesebelas butha wujud Kala Rudra ~ bukan untuk pemujaan pada Hyang Rudra, agar tidak mengganggu keseimbangan alam.
Meskipun Ritual Eka Dasa Rudra sudah ada diperkenalkan pada jaman sejarah kerajaan Bali Kuna, upacara ini kembali ditata ulang oleh Danghyang Nirartha pada masa kebudayaan Majapahit di Bali, di saat berkuasanya Dalem Waturenggong, raja kerajaan Gelgel.
Pada masa-masa penjajahan, upacara ini tidak dapat dilaksanakan, pada saat menjelang pra-letusan gunung Agung ditahun 1963 (dengan status Siaga), atas pertimbangan para tokoh Hindu saat itu, Presiden Soekarno menyetujui agar diadakan upacara tawur Eka Dasa Rudra agar keseimbangan jagat dapat kembali dipulihkan. Maka upacara ini dilaksanakan kembali meskipun bersamaan dengan meningkatnya dari status Siaga 1 menjadi status Awas dari kondisi keaktifan terakhir Gunung Agung pada awal tahun 1963 itu. Karena kondisi Gunung Agung yang bisa membahayakan umat, maka beberapa tingkatan ritual dan pelaksanaannya ada beberapa hal yang tidak bisa dilakukan sepenuhnya dan lokasi persembahyanganpun berpindah tempat ke Menanga.
Upacara agung Ekadasa Rudra pada tahun 1963 itu lebih sebagai karya paneregteg atau karya dengan maksud penebusan, yaitu upacara yadnya yang diselenggarakan karena telah cukup lama karya tersebut tak digelar, karena karya yang mestinya diadakan 100 tahun sekali pada saat tahun Saka berakhir 00 atau rah windhu tenggek windhu, sudah cukup lama tidak dilaksanakan.
Pada Tilem Caitra Saka 1900 tepatnya bulan Maret 1979, Karya Agung Ekadasa Rudra digelar sesuai dengan petunjuk Lontar 'Indik Ngekadasa Rudra' -- (Lontar Ngeka Dasa Rudra, Geriya Taman Intaran Sanur)menyebutkan : Ngadasa tahun amanca wali Krama ring Basukih; puput panca Wali Krama ping 10 mewasta windu turas, nga. Ring kaping solasniya wawu ngeka dasa rudra rah windu, tenggek windu. Disuratkan dalam lontar itu, ketika tahun Saka berakhir dengan dua windhu (00) disebut windhu turas, besar sekali terjadinya perubahan alam (jagat). Yang dijadikan pegangan dalam menyelenggarakan upacara tersebut, yaitu diselenggarakan pada tahun Saka berakhir dengan windhu turas atau rah windhu tenggek windhu.
Artinya, saat itu sudah mulainya diberlakukan hitungan menurut tatanan waktu yang ditentukan dan menjdai kewajiban untuk diteruskan pelaksanaannya sesuai interval waktu tersebut dimasa-masa mendatang. Maka saat itu dipakai atau dipilih melaksanakan tawur-jagat di Bali yakni setiap sepuluh tahun disebut Panca Bali Krama, setelah Panca Bali Krama sepuluh kali disebut windhu turas (rah windhu tengek windhu atau 00), barulah mengadakan Ekadasa Rudra.
Diantara sumber-sumber tersebut antara lain :.
Purana Pura Agung Besakih, yang tidak menyinggung periode pelaksanaannya, hanya menguraikan tentang rincian upakaranya yang sedikit berbeda dalam hal binatang korban yang dipergunakan bila dibandingkan dengan sumber-sumber lainnya.
Lontar Widhi Sastraning Taur Eka Dasa Rudra, dari Wanasari Tabanan, menuliskan :
”Huwusning Eka Dasa Rudra patawurakena Bhuta Panca Wali Krama, gaweya sanggar 5, tekaning panggungan panca desa. Wusning mangkana patawurakena Tri Bhuwana, ngaran, patawurakena Gurunya. Sanggar Tawang sanunggal panggungan sawiji. Mangkana yogyaniya gelarakena de sang rumakseng praja mandala, lawan para wiku Aji, sang sampun kreta yaseng yadnya sinanggah Weda Paraga."
Lontar Eka Dasa Rudra, Geriya Lod Rurung Riyang Gede, menuliskan :
"Wusni Eka dasa Rudra, patawurakna Bhuta Panca Wali Krama, lwire amanca desa, pur, da, pas, u, ma. Telasning mangkana Tri Bhuwana, angadegaken sanggar tawang tiga saha panggungan siji sowang, u, ma, da. Wus mangkana patawurakna Gurudya."
Lontar Bhama Kretih, menuliskan :
”Wusning Eka Dasa Rudra patawurakna bhuta Panca Wali Krama, lwire amanca desa, marep pur, da, pas, u, ma,. I Tlas mangkana muwah patawurakena Tri Bhuwana angadegaken sanggar tawang 3, saha panggungan siji sowang, u, ma, da,. Wus mangkana malih patawurakena Guruniya sanggar tawang 1."
Tampaknya Ekadasa Rudra akan tetap dipertahankan dengan interval waktu setelah sepuluh kali upacara Panca Walikrama (Bali Krama).
-Sumber:
-PHDI; 'Pamahayu Jagat'04 Maret 2009
-David J.Suart-Fox ; Pura Besakih; Pura, agama dan Masyarakat Bali, 2010
-Yayasan Mertasari Rempoa
Tawur Agung Pancawalikrama 2009
Pada Rabu Pahing Wuku Kuningan, 25 Maret 2009 tepat pada Tilem Caitra/Kasanga -- umat Hindu kembali menyelenggarakan upacara Tawur Panca Wali Krama di Pura Besakih. Karya ini digelar setiap 10 tahun sekali, yaitu pd Tilem Caitra/Kasanga ketika tahun Saka berakhir dengan 0 atau rah windhu.
Maksud yg tertuang pd Lontar Raja Purana, Tawur Agung ini adlh momen utk melakukan evaluasi terhdp pelbagai sistem kehidupan menuju yg harmonis. Atau mengingatkan umat kpda upaya penegakan aspek kehidupan.
Candi Sukuh-Karanganyar
Candi Sukuh di Dsn. Berjo, Sukuh-Ngargoyoso, Karang Anyar Jawa Tengah. Adlh candi yg unik dgn kesamaan bentuk di Saqqara Mesir, Chichen Irza dan Tenochticlan di Mexico dan Copan di Honduras. Terdpt patung manusia bersayap burung. Yg jg ditemui di bangunan bangsa Maya, literasi kuno Yahudi, serta relief Sumeria, Babylonia dan Assyrian.
(info-peradaban atlantis nusantara-seri atlantis)
Candi Cetho-Karanganyar
Candi Cetho tidak sama dengan bangunan candi lainnya di Nusantara, lebih mirip dengan pada peradaban Bangsa Inca-Maya di Amerika Latin. Arca sosok orang Sumeria lebih mirip dibanding dengan ciri khas orang Jawa. Hal ini menunjukkan Candi Cetho bukan dibngun masa Majapahit bahkan mungkin lebih tua dari masa Mataram Hindu.
(info.Peradaban Atlantis Nusantara/seri atlanta) —
Banyaknya Nama Tuhan
Sahabat sedharma,
Banyaknya nama Tuhan harus dipandang sebagai pengertian manifestasinya. Dari begitu banyaknya nama Tuhan, tiada satupun tahu nama sebenarnya, karena nama yg sebenar-benarnya adalah "Rahasia Bagi Diri-Nya".
Terbanyak menamakan Diri-Nya dari sifat-sifat-Nya saja. Maka kata nama yang paling banyak dipakai semua agama adalah Dia, Diri-Nya juga Engkau sperti pada "Dia Yang Maha Penyayang", "Diri-Nya Yang Maha Kuasa", "Engkau Yang Maha Tahu".
Sedangkan nama-nama Tuhan yang lainnya adalah nama-nama pemberian menurut pemahaman agamanya masing2.
Salam Dharma.
Banyaknya nama Tuhan harus dipandang sebagai pengertian manifestasinya. Dari begitu banyaknya nama Tuhan, tiada satupun tahu nama sebenarnya, karena nama yg sebenar-benarnya adalah "Rahasia Bagi Diri-Nya".
Terbanyak menamakan Diri-Nya dari sifat-sifat-Nya saja. Maka kata nama yang paling banyak dipakai semua agama adalah Dia, Diri-Nya juga Engkau sperti pada "Dia Yang Maha Penyayang", "Diri-Nya Yang Maha Kuasa", "Engkau Yang Maha Tahu".
Sedangkan nama-nama Tuhan yang lainnya adalah nama-nama pemberian menurut pemahaman agamanya masing2.
Salam Dharma.
Lawanlah Keangkuhanmu
Sahabat sedharma senusantara, Keangkuhan kita pada perbuatan juga kemalasan kita pada perubahan, selalu saja merasa sudah lebih baik. Padahal hidupnya dibayangi cemas, takut, bodoh dan bingung. Tanda malu tapi congkak. Tak akan bisa jujur apalagi patuh pada kebenaran. Perangai seperti ini tak baik bagi kita, juga tak cocok dijadikan pemimpin apalagi panutan umat. Salam Dharma. — (IP)
Menerima Apapun Pemberian-Nya
"Om Nama Siwaya.....
Damainya Gunung Agung lukiskan Siwaloka,
Kujatuhkan diriku dalam prayascita
Matur sembah sudhabrata Pada-Mu
Atas anugerah-Mu selama ini
Menikmati segala pemberian-Mu
Semoga hamba bercahyakan dwyacita"
Sahabat sedharma,
Kenalilah diri kita skali lagi, dekati dan lebih dekat lagi. Bicaralah dalam diam dan sadari apakah selama ini, sepekan atau sebulan ini, tindakan kita nyatanya lebih banyak membohongi diri kita sendiri.
Apakah ada sesuatu yang telah kita renggut dari kita sendiri?
Renungkan sebaiknya apa selama ini kita terseret tindakan dan pikiran sendiri. Yang tanpa disadari kalau selama ini nyatanya membuat kehidupan pribadimu justru mengucilkan diri sendiri dari kenyataan. Khayalan dan impian dibuat sedemikian kuat tapi nyatanya menjadikan dinding pemisah. Kita menjadi lebih sulit hidup tegak dan kembali mengikuti kepalsuan yg diciptakan sendiri.
Hidup semakin boros, hutang berkepanjangan dan tanpa disadari membayar semua kepalsuan dan kemahalan tanpa ukuran kemampuan dirinya sendiri. Karena akan slalu bersandiwara, tetap sombong, gengsi atau sebaliknya merendahkan dirinya sendiri agar terus selalu berharap dikasihi orang lain.
Kalau dengan dirinya sendiri saja tak bisa jujur juga mengalah bagaimana dengan orang-tuanya sendiri, orang lain dan apalagi kenyataan hidupnya sendiri?
Baiknya serahkan segala kecemasan akan keduniawian kita pada Yang Maha Kuasa, agar kita lebih damai melihat apa yang dicapai orang lain dan apa yang patut kita syukuri dari pemberian-Nya pada kita. Salam Dharma..!
Anugerah Sebuah Kejujuran
Kebersamaan
Sahabat Sarasehan Hindu Dharma Nusantara
Kebersamaan adalah kedamaian
Bersemaikan cinta yang bersemi
Membangun kemesraan menjalin persahabatan
Kita sepaham NIR-KEKERASAN adalah impian negeri ini
Kalau sahabat CINTA DHARMA CINTA DAMAI pada negeri ini
Jangan cemari jiwamu dengan permusuhan dan kebencian
Kebersamaan itu awal dari kedamaian bersama
Lakukan dan mulailah dari kita, tak usah tunggu lagi.
Salam Dharma! (IP)
Kebahagiaan Berawal Dari Kejujuran
Mohon Karunia Cinta Dalam Dharma
Doa Mohon Perbaikan Karma
Hyang Widhi,
Direnungan minggu ini aku menyadari perbaikan karma adalah keharusan.
Mengurangi dan memperbaiki kesalahanku
Juga kebiasaan tak peduli dan masabodoh
Aku mohon bimbingan Dharma Dijalan-Mu
Om Shanti Shanti Shanti Om
Sahabat Sedharma, kita memahami keadilan keluhuran alam tak dpt dihindari sebagaimana hukum yang dibuat manusia. Karma keadilan menyatakan adanya hukum pertukaran untuk memberi dan menerima. Memberi baik akan menerima baik dan memberi buruk akan menerima buruk. Karma itu senantiasa mengelilingi kita setiap hari secara alami.
Renungkanlah ini..
Bila merasakan tak lagi menikmati kenyamanan seperti sebelumnya karena telah berubah menjadi ketidaknyamanan. Kalau begitu ajarkan diri kita lagi untuk lebih menghargai kehendak-Nya. Salam Dharma!
Pemujaan Pura Banua Kawan - Besakih
Pura Banua Kawan di Besakih adlh pura kelompok desa (Wanua Kawan) tertua di Bali, yg pemujaannya pada Dewi Sri/Laksmi.
"Rgveda VIII.45.41: Sanghyang Widhi Wasa, smoga melimpahkan kekayaan yg patut kami tiru yg tersimpan di pegunungan atau di bawah tanah atau yang terbenam di samudera yang jumlahnya tak terhingga".
Mantra Rgveda kita pahami sbg doa agar dalam mengelola kekayaan bumi ini slalu dalam tuntunan dan kehendak-Nya. Sekarang bumi pertiwi spertinya diolah untuk memenuhi kenikmatan duniawi tanpa kendali.
Awali Tahun Baru Dengan Trikaya Parisudha
OM Swastyastu,
Suara nurani, yang dikarunia setiap insan, dengan suara hati yang murni, mengilhami cahaya kesadaran yang amat benderang. Kita semua diperdengarkan kesungguhan tentang dharma dari-Nya, sungguh Sanghyang Widhi, tak pernah terjaga dari segala Trikaya Parisudha (pikiran, ucapan dan perbuatan) kita didunia yang menuntut kewaspadaan dan keteguhan iman.
Hanya Trikaya Parisudha, satu-satunya jalan terutama yang tiada surut didendangkan oleh-Nya, siang malam melalui suara nurani, dilubuk hati yang dalam. Kita tanpa Trikaya Parisudha, mudah terjerumus kesesatan ego dalam pikiran yang bisa saja membutakan hati nurani kita, bila tak pernah waspada, bahkan merosot jauh hingga kedalam bawah dunia yang penuh keburukkan, hina dan kesengsaraan (yamadipati). Dunia yang tak pantas bagi kita, hanya pantas bagi butha dan pengikutnya, yang tiada henti merosotkan moral kita jauh dari kemuliaan-Nya. Sungguh indahnya hidup dalam Trikaya Parisudha, hidup yang berdasarkan nilai kebijakan dan sifat kemuliaan Sanghyang Widhi.
Kebijaksanaan hidup yang penuh cipta rasa karsa, membawa kita pada kebaikan, kedamaian dan kebahagiaan. Hidup dengan kesungguhan Trikaya Parisudha, memancarkan aura dalam layar-layar kesadaran kita. Kesadaran yang membawa kita, pada kesadaran yang lebih tinggi dan lebih mulia, kesadaran Jiwa-Nya yang Agung.
Melalui wedadarma Sarasehan Hindu Nusantara kesempatan kali ini, mengawali 2012, kita diingatkan kembali, merenungi diri dengan apa yang telah lakukan di tahun 2011. Banyak perihal yang kita sudah lewati di 2011, ada kesuksesan tetapi juga ada kegagalan, ada kebahagiaan juga ada kedukaan, bertambah teman , tetapi juga bertambah lawan.
Semua itu perlu kita sikapi dengan bijaksana, karena hanya kebijaksanaanlah, yang bisa mengalahkan rasa kebencian, dendam hati, juga keserakahan dan kecemasan tiada henti. Kebijaksanaan hanya ada dalam hati nurani, ia takkan muncul begitu saja bila tak ada hasrat kebaikan merubah dalam diri.
Baiknya kita sekarang, untuk mengawali sukses kita di tahun yang baru ini, berhentilah banyak bicara keburukan oarng lain, berdebat yang tidak perlu, bermalasan, banyak tidur, mengumbar hawa nafsu dan hambur-hamburkan uang. Bayarlah hutang-hutang karma kita, hutang uang baiknya, segeralah kita menepati janji untuk dilunasi dan hutang keburukan, segeralah ditebus dengan Trikaya Parisudha.
Kita percaya dan optimis dalam menyongsong hari-hari di usia kita yang terus bertambah, meski matahari tertutup awan sekalipun, tiada yang mampu menghentikan usia kita, kalau bukan diri-Nya.
Sebab itu, baiknya janganlah lupa diri, angkuh bahkan tak mawas diri lagi, bahwasanya Sanghyang Widhi bisa saja berkehendak lain, bila tak diyakini dari sekarang, usia kita bisa saja berakhir tanpa tanda, datang begitu saja, lantas kapan kita bisa mengamalkan kebijaksanaan, dengan melakukan Trikaya Parisudha, untuk membayar semua perbuatan-perbuatan kita dalam karma duniawi?
Maka, pupuskan rasa ragu, malas, beranikan diri untuk mengawalinya di tahun 2012 ini, agar kelak, dihari yang terakhir kita tetap berada dalam jalan kebijaksanaan Trikaya Parisudha, dijalan yang dikehendaki-Nya.
Kebaikan bila hanya dipikiran dan ucapan, takkan bernilai bila tanpa tindakannya. Janganlah ragu apalagi malu pada-Nya, Sanghyang Widhi Maha Pemurah lagi Bijaksana, kita yang ingat pada-Nya, takkan luput dari bimbingan-Nya.
Semoga semangat Trikaya Parisudha datang dari segala arah. Salam Dharma!(IP31012010)
Doa Kepada Ibu Pertiwi
Memotong Kebiasaan Tak Berguna
Sahabat sedharma, semoga apa yang kita lakukan bukanlah kebiasaan yang tidak berguna. Jadikanlah membiasakan diri dengan yg berguna, semoga semakin melandasi dharma pada sifat dan perilaku kita dikemudian hari dan selamanya. Demikianlah adanya ajaran trikaya parisudha. OM Awighnamastu..Salam Dharma!
Perayaan Hari Saraswati
18 Des 2011
Karunia Alam Gunung Agung
Om Swastyastu,
Dari setiap perjalanan pendakian ke Gunung Agung yang tidak terasa lebih dari belasan kali pendakian baik bersama teman, berdua saja, atau bahkan seorang diri saja, dengan mengikuti beberapa jalur yang berbeda, baik dari jalur Pura Pengubengan, lalu jalur Pura Kiduling Kreteg hingga Embung, kemudian jalur Pura Payasan di Temukus dan jalur Pura Pasar Agung di Selat. Beberapa hari setelahnya, saya menyadari berkali-kali lagi, seakan Gunung Agung menginspirasikan saya harus sekali lagi dan berkali-kali lagi menegaskan diri saya sendiri. Saya ataupun kita nyatanya selalu diminta menjadi lebih sadar lagi untuk memahami segala sesuatu akan tantangan alam; api, tanah, udara dan air. Betapa selama ini hanya sedikit kita mempelajari dari kemauan untuk memahami perbedaan dan persamaan antara kita dan Alam semesta secara nyata, murni dan bernaluriah.
Bagaimana kita melihat daerah hutan lebat yang menyimpan berbagai misteri habitatnya. Semisalnya kita berada disana, bagaimana seharusnya kita bisa tangguh hidup didalam hutan selebat itu atau seandainya bagaimana kita seharusnya menemukan jalan keluar dari dalam hutan yang lebat tanpa harus tersesat. Kegelapan dan kesunyian hutan hingga berdiri diketinggian lereng puncak gunung, seringkali membawa kita pada pikiran dan perasaan kecemasan, ketakutan dan ketidakmampuan atau sebaliknya membawa kesombongan seakan telah menaklukan alam yang kita lalui dengan keangkuhan pikiran yang kita pertahankan.
Disinilah ketegasan yang diminta dari Alam itu, ketegasan kita menghadapi dengan keseimbangan antara kita dan jiwa kita sendiri, karenanya hal ini semakin membuka diri kita untuk membuat keseimbangan perbedaan didalam diri kita sendiri, Hyang Widhi didalam diri dan diri kita sendiri. Alam menyarankan kebijaksanaanya pada kita untuk memahami Alam dengan ketegasan atas keyakinan kita pada Pencipta-Nya, yang justru Diri-Nya berada didalam diri kita sendiri. Dengan demikian kehadiran Alam Semesta bagi kita adalah untuk dapat menikmati suguhan-suguhan Pencipta-Nya dengan kesadaran kemuliaan-Nya bukan dinikmati untuk kesenangan duniawi dan mengkhianati Pencipta-Nya menjadikan Alam adalah budak nafsunya.
Padahal Alam itu dinyatakan sama dengan perumpamaan Diri-Nya, karena dari adanya Alam kita bisa mengambil dan menerima semua limpahan karunia dari-Nya. Dimulai dari cara panadang yang sederhana, kelahiran yang memerlukan perlindungan, tempat tinggal, makanan dan obat-obatan, Kehidupan yang menginginkan hasil dan kelimpahan rejeki dan kematian yang memerlukan tempat terbaik untuk menyimpan atau memusnahkan raganya, dansebagainya.
Tentu saja yang saya mohonkan melakukan perjalanan melewati hutan yang lebat hingga diketinggian gunung, bukan sebagai kehendak diri menaklukan alam, tetapi diri ini sendiri dengan perhitungan yang lebih mawas, cerdas dan bijaksana. Sejauh mana kita bisa berdiri dan berjalan disana sama dengan sebagaimana kita mengamalkan swadharma dalam ajaran trikaya; niat, pikiran dan perbuatan. Kita sudah sepantasnya untuk merasakan kesucian dan kesungguhan Hyang Widhi didalam tubuh kita, memberikan renungan, pencerahan dan keyakinan untuk selalu melihat, mendengar dan menggerakkan drinya sendiri dalam setiap hari-hari perjalanan hidupnya, selalu atas berkat karunia dan cinta-Nya.
Hanyalah kemasabodohan, kemalasan, ketakutan, kesombongan yang akan memisahkan kita dari ketemtraman dalam diri sendiri bersama-Nya yang selalu mencintai kita. Hal ini menegaskan kita pada apa yang sering kita ucapkan Astungkara atau OM Awighnamastu, yang mengajarkan kita untuk memahami ucapan selalu memohon tiada halangan bagi kita atas karunia-Nya.
Tanpa disadari cerminan dari semua itu nyatanya adalah kehidupan kita yang selama ini kita jalankan. Alam yang kita lalui adalah pelajaran yang sangat berharga, tak dapat kita pelajari hanya membaca dari buku tanpa dialami sendiri. Sama dengan cara pandang hidup yang hanya memusatkan tindakan demi kepentingan diri sendiri, tidak membiasakan diri menerima pemikiran dan kebutuhan orang lain. Karena dengan mengenal kebutuhan orang lain, Alam dan sekitarnya, maka kita justru diarahkan untuk lebih dekat dan lebih dekat lagi mengenal Hyang Widhi dengan mengalir dalam tubuh kita sangat alami.
Maka kita akan terus menerima kelahiran-kelahiran baru dari kedewasaan diri kita sendiri, menerima anugerah-anugerah-Nya setiap waktu, ini sangat kita perlukan untuk melengkapi keterbatasan kita melakukan perjalanan dengan kemampuan bertanggung jawab lebih serta menemui setiap tantangan tanpa harus terbebani.
Begitulah memanunggalkan diri kita dengan Tuhan pencipta yang sebenarnya. Bukan dengan berpikir keras mengikuti ajaran dari berbagai pemahaman tentang kemanunggalan, karena inti dari ajaran itu adalah kealamian rasa tanpa dipaksa, sehingga ada kesadaran dan ketegasan, untuk selalu belajar menyadari dan menegaskan diri lagi. Adanya pendewasaan kecakapan untuk menjadi diri sendiri melakukan perjalanan hidup ditengah-tengah antara Tuhan dan Alam Semestanya, tanpa mendahului atau didahului. Tetap ditengah, seimbang dan berjalan bersama-Nya. Rahayu, Salam Dharma!(IP181212)
Halangan Hidup Dalam Diri Sendiri
Sahabat Sedharma,
Hanyalah kemasabodohan, kemalasan, ketakutan, kesombongan yang akan memisahkan kita dari ketemtraman dalam diri sendiri bersama-Nya yang selalu mencintai kita.
Hal ini menegaskan kita pada apa yg sering kita ucapkan Astungkara atau OM Awighnamastu, yang mengajarkan kita untuk memahami ucapan slalu memohon tiada halangan bagi kita atas karunia-Nya.
Ada byk kisah curahan hati, namun baiknya pelajari bila bagi yang seringkali tidak memperdulikan segla akibat tindakan, yang menangis saja dan selalu merasa kalah, seolah hidupnya hanya disakiti, tetapi kenyataan sebenarnya adalah ketidakmandirian, kemalasan berbuat dan berpikir yang terus dipelihara dan nyatanya hanya mau mengerjakan yang mudah-mudah saja, tapi selalu berkhayal ingin hasil yang melebihi kualitas kemampuan dirinya-sendiri.
Demikianlah dirinya dimanipulasi oleh kebiasaan hidup yang telah lama dijadikan sifatnya. Selalu melihat dari sisi terbalik dari keadaan yg sebenarnya, sehingga tidak akan pernah peduli dengan segala akibat tindakannya sendiri, karena selalu ingin dimenangkan oleh perlindungan yang diciptakannya sendiri, seolah sebagai orang yang harus terus dikasihi.
Salam Dharma!
Hanyalah kemasabodohan, kemalasan, ketakutan, kesombongan yang akan memisahkan kita dari ketemtraman dalam diri sendiri bersama-Nya yang selalu mencintai kita.
Hal ini menegaskan kita pada apa yg sering kita ucapkan Astungkara atau OM Awighnamastu, yang mengajarkan kita untuk memahami ucapan slalu memohon tiada halangan bagi kita atas karunia-Nya.
Ada byk kisah curahan hati, namun baiknya pelajari bila bagi yang seringkali tidak memperdulikan segla akibat tindakan, yang menangis saja dan selalu merasa kalah, seolah hidupnya hanya disakiti, tetapi kenyataan sebenarnya adalah ketidakmandirian, kemalasan berbuat dan berpikir yang terus dipelihara dan nyatanya hanya mau mengerjakan yang mudah-mudah saja, tapi selalu berkhayal ingin hasil yang melebihi kualitas kemampuan dirinya-sendiri.
Demikianlah dirinya dimanipulasi oleh kebiasaan hidup yang telah lama dijadikan sifatnya. Selalu melihat dari sisi terbalik dari keadaan yg sebenarnya, sehingga tidak akan pernah peduli dengan segala akibat tindakannya sendiri, karena selalu ingin dimenangkan oleh perlindungan yang diciptakannya sendiri, seolah sebagai orang yang harus terus dikasihi.
Salam Dharma!
3 Des 2011
Tuntunan Memulai Berdoa
Duduklah senyamannya, yakinkan suasana hati yg diam
Ucapkan perlahan Om Nama Siwaya berulang2
Kunci suasana hati lalu arahkan pd mata ketiga
Adanya diantara dua alis mata kita
Tegaskan getaran energinya pd mata ketiga
Lalu perlahan alirkan menurun pada titik pusar perut
Diam, dan mulailah sampaikan doa hari ini pada-Nya.
Ucapkan perlahan Om Nama Siwaya berulang2
Kunci suasana hati lalu arahkan pd mata ketiga
Adanya diantara dua alis mata kita
Tegaskan getaran energinya pd mata ketiga
Lalu perlahan alirkan menurun pada titik pusar perut
Diam, dan mulailah sampaikan doa hari ini pada-Nya.
Langganan:
Postingan (Atom)
Arsip Blog
-
▼
2011
(52)
-
▼
Desember
(26)
- Dharmasastra
- Rindukan Sosok Danghyang Nirartha Dijaman Sekarang
- Misteri Ajaran Padmasana Danghyang Nirartha
- Dharma Melepas Ikatan Kesulitan Hidup
- Tawur Agung Ekadasa Rudra 1963
- Tawur Agung Pancawalikrama 2009
- Candi Sukuh-Karanganyar
- Candi Cetho-Karanganyar
- Banyaknya Nama Tuhan
- Lawanlah Keangkuhanmu
- Menerima Apapun Pemberian-Nya
- Anugerah Sebuah Kejujuran
- Kebersamaan
- Kebahagiaan Berawal Dari Kejujuran
- Mohon Karunia Cinta Dalam Dharma
- Doa Mohon Perbaikan Karma
- Aksara OM - Memuja Brahman
- Mantram Dewa Wisnu
- Pemujaan Pura Banua Kawan - Besakih
- Awali Tahun Baru Dengan Trikaya Parisudha
- Doa Kepada Ibu Pertiwi
- Memotong Kebiasaan Tak Berguna
- Perayaan Hari Saraswati
- Karunia Alam Gunung Agung
- Halangan Hidup Dalam Diri Sendiri
- Tuntunan Memulai Berdoa
-
▼
Desember
(26)