“Hamba sampai di Bali, ketika hamba bertapa di Rabut Palah. Alangkah susahnya mencapai Bali, dengan menaiki perahu bocor melawan gulungan ombak yang dashyat.”
Danghyang Nirartha adalah guru mistik cemerlang, Ia adalah tokoh mistik sejati yang menguasai lintas agama. Ia dikenal sebagai guru, sekaligus pendeta utama yang menyebarkan ajaran Padmasana di tanah Bali secara konstektual. Meski berkultur budaya keJawa-an (kejawen), tetapi dirinya pemeluk militan Budha Jawa (mahayana dalam konsep kawruh budhi), tetapi ketika di Bali, dirinya mahir berperilaku Siwa, di Lombok lain lagi, sungguh piawai berbicara Islam. Dasar penyampaian dirinya, adalah realitas, selalu disesuaikan dengan kondisi Bali. Tidak seperti Adipati Samprang, yang serta-merta me-Majapahitkan budaya dan agama orang Bali asli. Tak ayal menimbulkan konflik, padahal mereka jauh lebih dulu ada bersama dijamannya Rsi Markandeya dan jamannya Mpu Kuturan. Sungguh, Danghyang Nirartha menyadari dan mengilhaminya.
Pengalaman beliau ketika Majapahit sirna, ajaran pembebasan sudah begitu mendapat tempat dihati kaum miskin. umat yang terkekang konsep kasta. Di Jawa, begitu Sunan Kali Jaga datang menyebarkan dakwah pembebasan, dan kesederhanaan beribadah, Islam berbudaya Jawa, hasilnya diluar perkiraan, serta merta banyak yang meninggalkan kepercayaan Hindunya, masuk Islam karena pembebasan dari kasta, warna dan wangsa.
Adalah aneh, jikalau Danghyang Nirartha, malahan mengilhami konsep perbedaan wangsa, kaum brahmana, ksatrya dan sudra. Padahal, Beliau tahu betul, Islamisasi di Jawa yang telah berkembang cepat, membawa pesan kesetaraan, tanpa wangsa adalah modal utamanya, menarik sebanyak mungkin Hindu dan Budha menerima Islam. Kelak bisa saja, Islam (Demak) atau Kristen (Portugis saat itu) akan mudah masuk ke Bali dan menyebarkan pola yang sama, kesetaraan di Bali!
Danghyang Nirartha, berada di Jawa dan mengenal betul figur Syekh Siti Jenar yang fenomenal, banyak disegani rakyat tetapi dimusuhi para Wali Islam dan Raja Demak. Banyak pembesar di Majapahit, termasuk Adipati Pengging berhubungan dengan Syekh, tanpa meninggalkan kehinduannya. Syekh itu juga seorang Wali Islam, Adipati Demak yang meski ajaran keIslamannya tidak lagi diakui Demak, nyatanya, Syekh memiliki gerakan penyebaran ajarannta terbanyak ketimbang Wali lain. Syekh menolak Islamisasi di Jawa dengan peperangan, dan yang menyebabkan Syekh semakin tidak disukai Wali Lain adalah karena gencar menolak penyerangan Raden Patah ke Majapahit, dan perlawanan itu berhasil, meski setelah Syekh dan Raden Patah sama-sama meninggal, Demak melalui penerusnya baru kemudian menguasai Majapahit.
Syekh memang piawai berpikir, idenya membawa solusi jitu, paling tidak sudah bisa mempengaruhi Demak untuk tidak melakukan ekspansi ke timur Jawa terlebih Majapahit, apalagi Majapahit adalah kerabat leluhurnya yang tentunya tidak akan tiba-tiba menyerang Demak begitu saja. Alibi Syekh adalah; Demak semestinya melihat Portugis sebagai saingan, bukanlah Majapahit. Karena pada jaman itu, Majapahit nyatanya tak peduli meski Demak selama itu sedang gencar memperluas Islam di Jawa. Majapahit sudah diricuhi selisih keluarga, saling berperang diantara keluarga merebut tahta atas nama keturunannya sendiri-sendiri.
Bagi Syekh, sudah sejak dahulu Majapahit menerima kehadiran penyebar Islam seperti Sayid Jamaluddin Ibnu Hussein dan Sunan Ampel. Sayid Jamaluddin bahkan telah dilegitimasi oleh Majapahit dengan sebuah tanah perdikan Islam. Pada masa Sunan Ampel, ketika Sunan Ampel meninggal, Prabu Brawijaya V menganugerahi Romo Bayan Ampel. Kenyataan historis inilah yang dijadikan dasar Syekh untuk menentukan ukuran sikap Demak terhadap Majapahit. Meskipun pada akhirnya bagi para wali dan Demak, jelas ada pandangan bahwa hanya Islam, satu-satunya agama yang diakui, dan dilegimasi dengan pernyataan bahwa agama raja adalah agama yang harus diikuti rakyatnya. Jelas berbeda dengan prinsip keagamaan Majapahit yang tidak pernah memberlakukan satu agama ataupun agama raja harus dianut sama oleh semua rakyatnya.
Syekh beralasan, karena kelak bila dihabisi, tak akan menyurutkan agama asli, Hindu dan Budha di Nusantara, tetap akan memunculkan kerajaan Hindu baru, mengingat jumlah pemeluk agama asli, Hindu, Budha masih banyak dan mengakar di Jawa.
Dan itulah pemikiran teorinya, meski Hindu-Budha tidak lagi di Jawa, nyatanya Bali malah menjadi embrio baru, lahir dan besar sebagai wilayah ‘kerajaan’ Hindu besar dijamannya, pun nyatanya Hindu ala Indonesia itu, tetap eksis di jaman modern sekarang! Seolah Alam nusantara berkata lain, dengan keberadaan Bali, kita melihat dunia yang berbeda, pulau kecil yang tak punya sumber daya alam, tetapi bisa terkenal melebihi Indonesia!
Bagi Syekh, sebagian besar orang Jawa memiliki akar pemahaman ajaran Hindu dan Budha yang kuat pada nilai-nilai budaya dan jati diri leluhurnya ketimbang nama besar agamanya! Dan benar, umat Hindu di nusantara, mempertahankan kepercayaan Hindunya, lebih karena mencintai rasa pada bathiniahnya bukan lahiriahnya! Persoalan kafir atau musrik, itu hanya pandangan, Syekh menyadari bukanlah esensi dari ajaran dharma Hindu dan Budha itu. Oleh karena itu, Syekh berpandangan penyebaran Islam di Jawa harus disadari dengan cara pemahaman Islam yang selama ini didengungkannya. Nyatanya lebih mudah diserap dan diterima dengan baik gerakan pengikutnya.
Raden Patah akhirnya memilih memperluas wilayah bukan dari timur Jawa, tetapi cenderung ke barat Jawa hingga Palembang dan Jambi. Karena sudah nyata, Portugis semakin menjalin pengaruh pada kerajaan-kerajaan strategis dinusantara. Jadi memanglah benar bahwa Raden Patah bukanlah penyerang Majapahit, karena Raden Patah sampai meninggal, diakhir masa pemerintahannya masih dalam ekspansi ke wilayah tengah dan barat Jawa, Jakarta dan Sumatera. Raja penggantinya adalah yang terekam sejarah dalam perebutan kekuasaan di Majapahit dan hampir sebagian timur Jawa.
Johor sudah melepaskan diri dari Majapahit, karena sudah lebih dulu bersekutu dengan Portugis, tepatlah dugaan Syekh, selatan Sumatera dan wilayah barat Jawa akan dipengaruhi politik dagang ala Kristen Portugis. Cirebon dan Pajajaran sudah terbukti tidak mau tunduk semenjak Gajah Mada dulu.
Ceritanya jaman kemasyhuran Syekh ketika itu, adalah ketika sebagian besar masyarakat Jawa waktu itu lebih banyak memilih menjalankan ajaran Islam Syiah. Dan Syekh Siti Jenar adalah guru agama beraliran Syiah yang termasyhur pada jamannya. Maka oleh penguasa Demak Syekh dianggap sebagai penyebar pengikut Aliran Syi’ah di Jawa kala itu, (Raden Patah bukan dari aliran Syi’ah, melainkan berasal dari Aliran Sunni bermazhab Hanafi -lantaran warga keturunan Cina di Jawa bermazhab Hanafi)maka Syekh dijerat pasal hukuman tentang penyebaran ajaran sesat dan dia dijatuhi hukuman mati oleh penguasa Demak. Dengan cara demikian lumpuhlah para pelaku dharma Syi’ah Jawa (Islam ala Jawa), sehingga dukungan terhadap Raden Patahpun semakin menguat.
Aliran Syi’ah berorientasi pada syariat yang lebih menekankan pada ajaran kebatinan. Dan, kelihatannya golongan Syi’ah lebih mudah diterima dan dijalankan oleh orang Jawa yaitu Syi’ah yang berpaham Wujudiyyah atau Manunggaling Kawula klawan Gusti. Ajaran inti dari Wujudiyyah ialah segala sesuatu yang maujud ini merupakan emanasi atau percikan sinar Ilahi.
Alasan lain untuk menghukum mati Syekh Siti Jenar adalah karena dia menjadi guru agama bagi empat puluh adipati, termasuk gurunya Raden Kebo Kenongo alias Ki Pengging (raja bawahan Majapahit yang menguasai daerah Pengging) yang menjadi pesaing Raden Patah dalam kelanjutan tahta Majapahit dan sekaligus ahli waris sahnya. Ki pengging adalah sosok ahli waris utama Majapahit ketika itu, jelas memiliki potensi kuat yang berlawanan dengan Raden Patah sebagai penguasa baru di Jawa. Meski Syekh Siti Jenar menjadi guru spritualnya, tetapi tidak berarti Ki Pengging masuk Islam.
Ajaran Syekh Siti Jenar ini memiliki pengaruh luar biasa di masyarakat Islam di Jawa, terutama pedalaman Jawa Tengah. Hal inilah yang justru mengkhawatirkan Raden Patah terhadap kerajaannya yang masih baru berdiri dan bisa meruntuhkan kekuatan penyebaran Islam baru di Jawa.
Jadi, sebenarnya bukan ajaran Syekh Siti Jenar itu yang ditakuti oleh Raden Patah, dan bukan pula kesesatan ajarannya, sebab ajaran yang dipegang oleh para wali itupun ajaran Manunggaling Kawula-Gusti. Contohnya, sampai hari ini makrifat Manunggaling Kawula Gusti yang berasal dari Sunan Kudus tetap berkembang di Indonesia.
Raden Patah berhasil mendirikan Kerajaan Demak berkat dukungan adipati-adipati yang ada di pesisir Jawa Tengah dan Jawa Timur yang di kemudian hari disebut sebagai para wali, yang sering disalahpahami sebagai ulama penyebar agama Islam. Padahal, yang menyebarkan agama Islam adalah para pedagang, sedangkan yang disebut “Wali Sanga” itu bukanlah pedagang, meski ketika mudanya di antara para wali, seperti Sunan Giri, ada yang berdagang. Para anggota Wali Sanga adalah adipati yang bergelar “sunan” dan memiliki daerah kekuasaannya sendiri-sendiri.
Sebagai penguasa-penguasa kadipaten, mereka menerapkan prinsip agama ageming aji. Setiap warga di kadipaten itu diseru, diajak, untuk memeluk atau menjalankan ajaran Islam, Setiap warga negara Kesultanan Demak diwajibkan untuk mengikuti agama raja.
Aliansi masyarakat Jawa Islam dan Cina Islam yang tinggal di pesisir Jawa inilah yang kelak mendorong lahirnya Kesultanan Demak Bintoro yang raja pertamanya adalah Raden Patah.(KEJAWEN: SUATU SISTEM ISLAM SEBAGAI SOLUSI TANTANGAN ZAMAN Oleh: Ir. Achmad Chodjim Shaleh, MM).
Kesultanan Demak mengikatkan diri dengan Kekhalifahan Utsmani di Turki untuk menghadapi perlawanan para pengikut Syekh Siti Jenar, dan secara perlahan-lahan Mazhab Hanafi digeser dan digantikan oleh aliran Islam Mazhab Syafii yang memang sudah berkembang kuat di Semenanjung Malaka. Mazhab Syafii pun lebih fleksibel dalam menghadapi tradisi yang sudah mengakar di tengah masyarakat Jawa. Ajaran Islam mazhab Syafii juga lebih dekat dengan praktik-praktik keagamaan aliran Syi’ah.
Meskipun ajaran Syekh Siti Jenar yang egaliter dan berpegang pada pluralisme dalam Islam ajaran itu dibasmi habis-habisan, namun nyatanya ajaran yang disebut Islam Jawa ini tetap eksis di dalam Kesultanan Demak. Sunan Kalijaga yang di satu sisi sebagai penasihat Sultan Trenggana (Sultan Demak III), namun di sisi lain dia adalah guru bagi Jaka Tingkir (anak Ki Pengging, dan akhirnya dapat mendirikan Kesultanan Pajang), Ki Gede Pamanahan, Ki Panjawi, dan Ki Juru Amartani.
Setelah masa Syekh dihukum mati dan pengikutnya berhasil dipersempit gerakannya, Demak mulai menyerang semua wilayah Majapahit, bukan oleh Raden Patah, tetapi oleh anak dan cucunya, Pati Unus dan Trenggana. Pati Unus berhasil menggeser Prabhu Dyah Wijayakarana Girîndrawarddhana hingga pindah ke Klin, Daha dan beberapa tahun kemudian, Trenggana akhirnya membumihanguskan Majapahit dinasti Girîndrawarddhana di Daha. Sisa Majapahit hanya tinggal Lumajang dan Blambangan, namun belakangan Lumajang sirna, tunduk pada Demak, pelarian Majapahit yang tak puas, mulai banyak merambah Semeru, Tengger dan Bromo. (bersambung)
------------------------------------------------------------------------------------
“Penunjuk jalan yang hamba terima dari Paduka Bhattara Palah selalu hamba genggam erat, hingga akhirnya, laksana hamba menemukan cikal Majapahit Baru, Waturenggong yang lugu tapi bijak, dan orang-orang Bali yang tak lain Jawa masa lalu, Majapahit yang kehilangan ratu adilnya”
Lain Syekh, lain halnya Danghyang Nirartha. Baru muncul setelah Syekh tinggal nama. Kemunculannya di Bali sebagai pendeta besar yang fenomenal. Wataknya berbeda dengan Syekh, yang lugas berpolitik dan senang berbicara apa adanya, kebalikan dengan Sang Brahmana ini, mudah iba, amat rendah hati, selalu mengalah, sedikit bicara, tetapi juga keras dan tegas, dan perbedaan yang mencolok dengan Syekh, Brahmana ini tak senang berpolitik.
Semasa Syekh hidup, Brahmana sakti wawu rawuh ini sudah meninggalkan hiruk pikuk Majapahit. Dirinya sudah lama berada di Rabut Palah. Di Candi Palah yang kesohor mengulas ajaran Siwa dan Budha. Titah dari Candi Palah, membawa amanah Danghyang Palah hingga Silayukti, agar mengembara mencari ilmu rahasia menuju kemanunggalan (moksa).
Titahnya, menyebarkan dharma kemanapun mengembara, agar jangan pernah berhenti, meski hanya sekedar minum. Hanya moksa lah yang menghentikannya.
Sayang, Brahmana ini memang mudah sekali iba, dirinya selalu mudah diminta untuk tinggal ditempat yang dia singgahi. Hingga kerap selama tinggal, selalu ada intrik, buruk sangka juga fitnah, yang menjadikan beliau terperangkap dalam perjalanannya sendiri, kisah memilukan hatinya ketika di Blambangan, adalah awal dari kelengahan beliau terhadap amanah Danghyang Palah, untuk selalu tidak berlama-lama berhenti berjalan.
Danghyang Nirartha memprihatinkan perbedaan kasta, warna dan wangsa yang kuat melekat pada orang Bali, apa yang dialaminya, ketika Wali-wali Islam di Jawa, yang mudah menyulap orang Jawa Hindu menjadi Islam, adalah keinginan orang Jawa membebaskan dirinya dari kasta yang mengikat.
Baginya, adalah kemunduran bertradisi, perbedaan wangsa di Bali nyata dilihat tinggi rendah status orangnya, bukan peran dan tanggung jawabnya.Jelas baginya, akan menimbulkan persaingan tanpa akhir, banyak merugikan dan lepas dari peran tanggung jawabnya, sebagai keturunan brahmana, maupun kesatria, yang semestinya saling melengkapi, bukan saling menggungguli. (bersambung)
-------------------------------------------------------------------------------------
Ketinggian ilmu kedua tokoh agama ini, mengundang curiga, sama-sama dianggap punya ilmu sihir! Padahal, yang membuat keduanya terkenal, adalah karena keteladanan dan sikapnya yang egaliter, merasa sama dengan semua orang, meski yang satu wali Islam dan yang satu brahmana Hindu , sama-sama tak soal untuk ‘duduk dibawah sama tinggi sama rendah!’
Danghyang Nirartha selama di Bali, bukan karena diundang seperti brahmana-brahmana Jawa sebelumnya, muncul dengan sendirinya dan hilang dengan sendirinya pula, begitu misterius, mistik dan fenomenal.
Beliau dihadapkan penyimpangan ritual agama dan konflik antar wangsa dan kasta. Beliau dipercaya Raja Gel Gel, dan berhasil menggugah Bali, membangun nilai-nilai historis Majapahit yang aplikatif, disesuaikan dengan sifat dan tradisi Bali, bukan pada kastanya, tetapi gubahan parahyangan pura-pura di Bali, inspirasi penegakkan Padmasana, serta pelaksanaan agama dan upacaranya.
Beliau, mengilhami dan mengembalikan Triwangasa, pada kesadaran peran dan tanggung jawabnya, bukan untuk saling mengungguli juga membedakannya, karena baginya, semua adalah setara, dan setara bagi yang miskin papa sekalipun!
Danghyang Nirartha paham betul, bahwa konsep Triwangasa, adalah konsep hidup beramal sesuai peran, kemampuan dan tanggung jawabnya, salah bila untuk memisah-misahkan dan merendahkan umat lain dalam bentuk apapun.
Persembahan apapun bagi beliau, Tuhanlah yang diutamakan, oleh karena itu, Tuhan tidak membedakan orang itu, karena dengan mengutamakan Tuhan yang terutama, wajib rasanya kita bertanggung jawab mengedepankan orang lain sama dihadapan-Nya!
Landasan pikiran Danghyang Nirartha, tentang Triwangasa adalah, manusia harus bekerja saling melengkapi bukan saling mengungguli. Perbedaan ini adalah pekerjaan, bukan predikat yang sebenar-benarnya yang akan dipersembahkan pada hari akhir-Nya.
Bila itu terjadi sungguh, dirinya akan dihempas kembali seperti yang ia lakukan terhadap orang lain, yang dianggap lebih rendah dari dirinya, bahkan mungkin lebih rendah dari yang sekarang, demikianlah karma adanya. Dirinya yang taat pada asal usulnya yang Jawani, Budha Mahayana cara Jawa, mampu memahami penjelmaan Siwa cara Bali dan tahu tata cara Islam yang sederhana, takkan mengingkari juga menodai kawruhnya sendiri, dirinya meski brahmana, lintas agama, tapi tetap tunduk pada kawruh budhi pekerti luhur, ajaran tradisi leluhurnya sendiri.
Beda dengan Syekh selama di Jawa, Syekh tidak pernah merasa dirinya diselisih paham dengan sesama Wali, yang membuat Raja Demak membencinya dan menyeretnya pada tiang gantungan, akibat tuduhan Sunan Bonang dan Sunan Giri, menyebut ajarannya sesat! Padahal inti persoalannya, hanya pada sikap pertentangan politik islamisasi berbudaya arab di Jawa. Dan Sunan KaliJaga yang dikenal dekat dengan Syekh, menyadari itu, Islam cara Jawa nyatanya, membuat Syekh, orang Jawa dan Islam, seperti satu dalam wadah.
Patut kita sadari, agar jangan kedua tokoh ini, seolah kepergian Syekh di Jawa, menyamar menjadi Danghyang Nirartha di Bali. Padahal kedua tokoh ini, berbeda perangai dan karakternya, juga beda pengabdiannya, meski sama-sama datang tiba-tiba, guru mistik dan fenomenal! (habis)
------------------------------------------------------------------------------------
Indra Prabudjati
22 Jan 2010
21 Jan 2010
2010: Menunggu Kebangkitan Majapahit ?
OM Swastyastu,
Majapahit banyak meninggalkan legenda kebesaran imperiumnya di abad silam, Sujiwo Tejo dalam tulisannya di Jawa Pos mengutip buku Prof. Arysio Nunes Dos Santos, Atlantis: The Lost Continent Finally Found, tahun 2005, menunjukkan bahwa kerajaan Atlantik yang pernah berjaya dan sampai sekarang misterius, Sujiwo Tejo beranggapan bisa jadi tempatnya tidak dimana-mana…ya di nusantara ini.
Temuan pakar Amerika latin yang terjemahan Indonesianya terbit Desember 2009. Dennys Lombard, melalui bukunya Nusa Jawa; Silang Budaya. antropolog Perancis juga menggarisbawahi secara lebih detail dan menyakinkan soal betapa istimewanya kedudukan nusantara (Sriwijaya dan Majapahit) dulu, sekarang (Indonesia) maupun, seharusnya dimasa yang akan datang.
Di awal 2010 ini, meskipun pesimistis, melihat gejolak politik perhatian pada kasus Cicak Melawan Buaya, dan skandal Bank Century juga kasus perhatian pada gerakan semilyar koin keadilan bagi Prita Mulyani, ditambah dengan rasa duka cita kepergian almarhum Gus Dur yang fenomenal dan sangat peduli pada keberagaman beragama, rasanya, masih banyak keraguan untuk optismistis 2010, sebagai awal kebangkitan Indonesia.
Persoalan kasus ketidakadilan dan markus-markus hukum yang banyak mencuat, mengawali 2010 sebagai rasa optimis juga pesimis akan menjadikan hukum kembali tegak adil dan beradab di negeri ini. Di bagian lain, ancaman bencana dimusim penghujan seakan juga membayang-bayangi roh spirit kebangkitan Indonesia.
Dalam mitologi Sabdapalon Naya Genggong, mengurai bentuk keprihatinan mendalam perilaku anak bangsa yang lupa hakikat dan martabat diri, bablas menghujat budaya leluhurnya sendiri, perilaku fanatisme agama yang diegokan, dan sedihnya justru korupsi, kolusi dan nepotisme menjadi lebih dibudi-budayakan. Bisa dibayangkan bahwa selama 64 tahun merdeka, korupsi masih menjadi momok yang sulit diberantas.
Suara Tuhan dalam amanah rakyat, ironinya lebih kuat Suara Setan dalam jiwa pemimpin, pejabat juga tokoh masyarakat yang justru dipercaya dan dipilih rakyat.
Kegandrungan merindukan hadirnya Ratu Adil juga Satria Paningit, tak lepas dari harapan menunggu janji kebangkitan Majapahit. Kini latahisme Majapahit sudah kian lama subur dihati rakyat kecil, seakan menagih janji-janji Sabda Palon Naya Genggong, awal takdir melawan ketidakadilan wong cilik yang telah banyak dibuat susah dinegerinya sendiri, yang bisa saja, kita katakan sudah diawali dengan lahirnya masa reformasi 1998-1999 yang baru berlalu, runtuhnya raja Jawa Orde Baru, dan lahirnya raja Jawa Orde Reformasi, dengan kemunculan Susila Bambang Yudhoyono yang tak dikira-kira, dipilih dan dipercaya jutaan rakyat hingga untuk keduakalinya. Meski banyak yang meragukan, adanya politik perhatian pada kasus Bank Century telah meneggelamkan program 100 harinya, tetapi paling tidak sudah banyak perubahan bagi sebagian besar 200 juta umat manusia, untuk berharap, semakin mendekatkan bangsa dan negaranya pada kehadiran Ratu Adil yang diidam-idamkan, yang akan membawa kembali kejayaan imperium Majapahit (Indonesia) kelak, paling tidak bisa dirasakan sepuluh tahun kemudian (2020).
Sudah barang tentu kita masih tidak lagi sabar menunggu kiranya gerangan wajah presiden yang akan muncul di 2014 dan 2019 nanti. Harapannya adalah Satria yang akan membawa kemakmuran, kesejateraan dan keadilan.
Tetapi, mana mungkin bila hanya menunggu munculnya Satria Paningit di pemilu 2014 atau 2019, kalau kita sebagai generasi muda bangsa hanya duduk, diam dan duit?
Mana mungkin Sabda Palon Naya Genggong akan menang membawa takdirnya, bila kita tidak merubah perilaku juga tabiat yang masih saling menghujat dan adu-bener dalam soal budaya juga agama? Juga bagaimana mungkin tercapai, bila umat Hindu di Bali, Jawa maupun Nusantara masih beribadah untuk kegandrungan mitoisme, feodalisme juga mistisme, ketimbang semangat menyederhanakan ritual dan meningkatkan perilaku yang lebih memiliki gagasan-gagasan revitalisme baru untuk kepentingan yang lebih besar dijaman yang penuh ancaman globalisasi juga moderenisasi.
Padahal kunci dari keberhasilan janji ramalan Sabda Palon Naya Genggong, mengutamakan senjata andalannya bukan keris, trisula ataupun bambu runcing, atau cuma mengandalkan sensasi kerauhan massal berharap dari petunjuk niskala, tetapi adalah Budhi!
Ini jelas bukan tafsir dari segala tafsir yang ada untuk mengatasnamakan kebangkitan untuk Siwa Budha, Budha, Hindu, Islam, Kristen, Katholik juga Kong Hu Cu, tetapi mengangkat senjata ‘Budhi’ yaitu, Budhi pekerti, Budhi susila, Budhi luhur, jelasnya menjadikan bangsa yang kembali Ber’Budhi’! Karena semua agama maupun kepercayaan di Indonesia mengedepankan Budhi, Dharma, Ahlak, Kasih juga Kemuliaan.
Mitologi Sabda Palon Naya Genggong oleh Jayabaya bukan untuk membawa anak cucunya ke medan perang agama sesama saudara sebangsa, tetapi mengajak perang kita terhadap perilaku yang tak lagi ber’budhi’, kembali menjadi jutaan umat yang berbudhi, menjadikan peradaban Indonesia menjadi lebih berbudhi dan beradab.
Aneh rasanya bila dikalangan umat beragama di Indonesia masih ada saling dendam saling jotos juga saling sebut kafir, hanya karena keegoan beragama, jelas sudah, budhi dalam agamanya luntur. Dan yang salah bukan agamanya tapi dirinya sendirinya.
Kita sudah harga mati untuk setuju, bahwasanya wasiat luhur juga warisan leluhur tak ternilai harganya adalah Bhinneka Tunggal Ika. Beragama untuk menunjukkan berbalas santun kebaikan bukan berbalas pantun keburukan. Maka jadilah generasi Hindu Nusantara penerus Majapahit (Indonesia) yang berBudhi dan berReligius dengan sesanti kautamaning urip; mengutamakan si Budhi bukan si Ego.
Bangkitlah generasi penerus Majapahit, dengan giat belajar dan bekerja keras, bukan ramai-ramai membangkit-bangkitkan roh niskala leluhur Majapahit, terjebak pada kesurupan massal ala Majapahit, mudah terjebak pragmatis baru. Majapahit sudah runtuh, bila baik cukup disambut sebagai bagian apresiasinya pada budaya, bila kurang baik jangan ditiru.
Majapahit sejatinya adalah Indonesia yang sekarang, sudah terlalu banyak yang mengklaim keturunan-keturunannya yang membawa wahyu Sabda Palon, bisa menjebak generasi muda Hindu Nusantara dalam persaingan antar tinggi rendahnya status soroh, tentunya menjadi lebih banyak merugikan nantinya.
Inspirasi Kebangkitan Majapahit adalah simbol identitas perjuangan baru melawan korupsi, kebodohan dan kemerosotan moral bangsa Indonesia pasca reformasi 1998. Bukan diartikan kebangkitan adanya agama baru, raja baru, kelompok Majapahit baru, atau anda yang tiba-tiba dirasuki gelar majapahit baru; karena itu semua hanya dalam bentuk apresiasi yang terjadi dimasyarakat, bukan itu yang hendak disampaikan oleh Jayabaya, juga Ranggawarsita dalam ulasan Sabda Palon Naya Genggong, disetiap kelahiran generasi muda mendatang, kelak memimpin negeri ini adalah penyandang wahyu, wahyu dari leluhur kita, inspirasi Jaya Baya, karena beliaulah yang menuliskan legenda itu, bagi kita agar wajib mengembalikannya pada jaman keemasan.
Sejatinya, tidak ada penunjukkan pemegang wahyu Sabda Palon, karena sekali lagi hanyalah kisah fiktif, namun berisikan pesan moral yang bisa dimaknai sebagai ramalan kuno. Begitulah awicara sastra-sastra Jawa, paramasastra dan mardibasanya menyiratkan wejangan juga wedharan, kemampuannya bernawungkrida dapat bermakna ngerti sadurunge winarah, memahami kejadian yang akan datang.
Ramalannya dapat kita pahami, tetapi bukan disikapi tanpa rasa bijaksana juga irrasional, seolah dipaksa masuk diakal tanpa ada upaya mencerahkan kecerdasan spiritualnya.
Semoga, Shanti, Shanti, Shanti a Jaya,
Damai Negeriku, Jaya Negeriku, Makmur Negeriku
Majapahit banyak meninggalkan legenda kebesaran imperiumnya di abad silam, Sujiwo Tejo dalam tulisannya di Jawa Pos mengutip buku Prof. Arysio Nunes Dos Santos, Atlantis: The Lost Continent Finally Found, tahun 2005, menunjukkan bahwa kerajaan Atlantik yang pernah berjaya dan sampai sekarang misterius, Sujiwo Tejo beranggapan bisa jadi tempatnya tidak dimana-mana…ya di nusantara ini.
Temuan pakar Amerika latin yang terjemahan Indonesianya terbit Desember 2009. Dennys Lombard, melalui bukunya Nusa Jawa; Silang Budaya. antropolog Perancis juga menggarisbawahi secara lebih detail dan menyakinkan soal betapa istimewanya kedudukan nusantara (Sriwijaya dan Majapahit) dulu, sekarang (Indonesia) maupun, seharusnya dimasa yang akan datang.
Di awal 2010 ini, meskipun pesimistis, melihat gejolak politik perhatian pada kasus Cicak Melawan Buaya, dan skandal Bank Century juga kasus perhatian pada gerakan semilyar koin keadilan bagi Prita Mulyani, ditambah dengan rasa duka cita kepergian almarhum Gus Dur yang fenomenal dan sangat peduli pada keberagaman beragama, rasanya, masih banyak keraguan untuk optismistis 2010, sebagai awal kebangkitan Indonesia.
Persoalan kasus ketidakadilan dan markus-markus hukum yang banyak mencuat, mengawali 2010 sebagai rasa optimis juga pesimis akan menjadikan hukum kembali tegak adil dan beradab di negeri ini. Di bagian lain, ancaman bencana dimusim penghujan seakan juga membayang-bayangi roh spirit kebangkitan Indonesia.
Dalam mitologi Sabdapalon Naya Genggong, mengurai bentuk keprihatinan mendalam perilaku anak bangsa yang lupa hakikat dan martabat diri, bablas menghujat budaya leluhurnya sendiri, perilaku fanatisme agama yang diegokan, dan sedihnya justru korupsi, kolusi dan nepotisme menjadi lebih dibudi-budayakan. Bisa dibayangkan bahwa selama 64 tahun merdeka, korupsi masih menjadi momok yang sulit diberantas.
Suara Tuhan dalam amanah rakyat, ironinya lebih kuat Suara Setan dalam jiwa pemimpin, pejabat juga tokoh masyarakat yang justru dipercaya dan dipilih rakyat.
Kegandrungan merindukan hadirnya Ratu Adil juga Satria Paningit, tak lepas dari harapan menunggu janji kebangkitan Majapahit. Kini latahisme Majapahit sudah kian lama subur dihati rakyat kecil, seakan menagih janji-janji Sabda Palon Naya Genggong, awal takdir melawan ketidakadilan wong cilik yang telah banyak dibuat susah dinegerinya sendiri, yang bisa saja, kita katakan sudah diawali dengan lahirnya masa reformasi 1998-1999 yang baru berlalu, runtuhnya raja Jawa Orde Baru, dan lahirnya raja Jawa Orde Reformasi, dengan kemunculan Susila Bambang Yudhoyono yang tak dikira-kira, dipilih dan dipercaya jutaan rakyat hingga untuk keduakalinya. Meski banyak yang meragukan, adanya politik perhatian pada kasus Bank Century telah meneggelamkan program 100 harinya, tetapi paling tidak sudah banyak perubahan bagi sebagian besar 200 juta umat manusia, untuk berharap, semakin mendekatkan bangsa dan negaranya pada kehadiran Ratu Adil yang diidam-idamkan, yang akan membawa kembali kejayaan imperium Majapahit (Indonesia) kelak, paling tidak bisa dirasakan sepuluh tahun kemudian (2020).
Sudah barang tentu kita masih tidak lagi sabar menunggu kiranya gerangan wajah presiden yang akan muncul di 2014 dan 2019 nanti. Harapannya adalah Satria yang akan membawa kemakmuran, kesejateraan dan keadilan.
Tetapi, mana mungkin bila hanya menunggu munculnya Satria Paningit di pemilu 2014 atau 2019, kalau kita sebagai generasi muda bangsa hanya duduk, diam dan duit?
Mana mungkin Sabda Palon Naya Genggong akan menang membawa takdirnya, bila kita tidak merubah perilaku juga tabiat yang masih saling menghujat dan adu-bener dalam soal budaya juga agama? Juga bagaimana mungkin tercapai, bila umat Hindu di Bali, Jawa maupun Nusantara masih beribadah untuk kegandrungan mitoisme, feodalisme juga mistisme, ketimbang semangat menyederhanakan ritual dan meningkatkan perilaku yang lebih memiliki gagasan-gagasan revitalisme baru untuk kepentingan yang lebih besar dijaman yang penuh ancaman globalisasi juga moderenisasi.
Padahal kunci dari keberhasilan janji ramalan Sabda Palon Naya Genggong, mengutamakan senjata andalannya bukan keris, trisula ataupun bambu runcing, atau cuma mengandalkan sensasi kerauhan massal berharap dari petunjuk niskala, tetapi adalah Budhi!
Ini jelas bukan tafsir dari segala tafsir yang ada untuk mengatasnamakan kebangkitan untuk Siwa Budha, Budha, Hindu, Islam, Kristen, Katholik juga Kong Hu Cu, tetapi mengangkat senjata ‘Budhi’ yaitu, Budhi pekerti, Budhi susila, Budhi luhur, jelasnya menjadikan bangsa yang kembali Ber’Budhi’! Karena semua agama maupun kepercayaan di Indonesia mengedepankan Budhi, Dharma, Ahlak, Kasih juga Kemuliaan.
Mitologi Sabda Palon Naya Genggong oleh Jayabaya bukan untuk membawa anak cucunya ke medan perang agama sesama saudara sebangsa, tetapi mengajak perang kita terhadap perilaku yang tak lagi ber’budhi’, kembali menjadi jutaan umat yang berbudhi, menjadikan peradaban Indonesia menjadi lebih berbudhi dan beradab.
Aneh rasanya bila dikalangan umat beragama di Indonesia masih ada saling dendam saling jotos juga saling sebut kafir, hanya karena keegoan beragama, jelas sudah, budhi dalam agamanya luntur. Dan yang salah bukan agamanya tapi dirinya sendirinya.
Kita sudah harga mati untuk setuju, bahwasanya wasiat luhur juga warisan leluhur tak ternilai harganya adalah Bhinneka Tunggal Ika. Beragama untuk menunjukkan berbalas santun kebaikan bukan berbalas pantun keburukan. Maka jadilah generasi Hindu Nusantara penerus Majapahit (Indonesia) yang berBudhi dan berReligius dengan sesanti kautamaning urip; mengutamakan si Budhi bukan si Ego.
Bangkitlah generasi penerus Majapahit, dengan giat belajar dan bekerja keras, bukan ramai-ramai membangkit-bangkitkan roh niskala leluhur Majapahit, terjebak pada kesurupan massal ala Majapahit, mudah terjebak pragmatis baru. Majapahit sudah runtuh, bila baik cukup disambut sebagai bagian apresiasinya pada budaya, bila kurang baik jangan ditiru.
Majapahit sejatinya adalah Indonesia yang sekarang, sudah terlalu banyak yang mengklaim keturunan-keturunannya yang membawa wahyu Sabda Palon, bisa menjebak generasi muda Hindu Nusantara dalam persaingan antar tinggi rendahnya status soroh, tentunya menjadi lebih banyak merugikan nantinya.
Inspirasi Kebangkitan Majapahit adalah simbol identitas perjuangan baru melawan korupsi, kebodohan dan kemerosotan moral bangsa Indonesia pasca reformasi 1998. Bukan diartikan kebangkitan adanya agama baru, raja baru, kelompok Majapahit baru, atau anda yang tiba-tiba dirasuki gelar majapahit baru; karena itu semua hanya dalam bentuk apresiasi yang terjadi dimasyarakat, bukan itu yang hendak disampaikan oleh Jayabaya, juga Ranggawarsita dalam ulasan Sabda Palon Naya Genggong, disetiap kelahiran generasi muda mendatang, kelak memimpin negeri ini adalah penyandang wahyu, wahyu dari leluhur kita, inspirasi Jaya Baya, karena beliaulah yang menuliskan legenda itu, bagi kita agar wajib mengembalikannya pada jaman keemasan.
Sejatinya, tidak ada penunjukkan pemegang wahyu Sabda Palon, karena sekali lagi hanyalah kisah fiktif, namun berisikan pesan moral yang bisa dimaknai sebagai ramalan kuno. Begitulah awicara sastra-sastra Jawa, paramasastra dan mardibasanya menyiratkan wejangan juga wedharan, kemampuannya bernawungkrida dapat bermakna ngerti sadurunge winarah, memahami kejadian yang akan datang.
Ramalannya dapat kita pahami, tetapi bukan disikapi tanpa rasa bijaksana juga irrasional, seolah dipaksa masuk diakal tanpa ada upaya mencerahkan kecerdasan spiritualnya.
Semoga, Shanti, Shanti, Shanti a Jaya,
Damai Negeriku, Jaya Negeriku, Makmur Negeriku
Langganan:
Postingan (Atom)