Ada barometer yang salah dalam menyikapi arti kemajuan dan pertumbuhan pada nilai ekonomi belaka, melalui nota dinas Kepala Disdikpora Bali, perihal relokasi kepada DPRD Badung, menyatakan bahwa lahan SLB-B Jimbaran kedepan kurang representatif untuk sekolah, karena ada diwilayah pengembangan bisnis. Kenapa dinas pendidikan yang berkompeten pada visi-misi pendidikan anak bangsa, memvonis SLB-B Jimbaran yang menjadi binaannya bertahun-tahun, tiba-tiba bersikeras menyatakan sekolah ini berada diareal perkembangan bisnis, dan harus dipindahkan ke Tohpati.
Apakah paradigma budaya orientasi dinas pendidikan provinsi sekarang, tunduk atau terjebak pada materialisasi? Ini pendapat rumusan alasan relokasi yang perlu dikaji ulang.
Semestinya secara matematis, maju pesatnya perkembangan bisnis diareal itu, harus seirama dengan kedewasaan kita pada perilaku, moral dan etika. Tampaknya hal itu malah timpang, adanya SLB-B di Jimbaran, menunjukkan komitmen moral terhadap keseimbangan kedewasaan kita, yang menyirami benih-benih kebajikan menjadi taman kehidupan di Kuta Selatan, dimana semua manusia termasuk anak-anak penyandang cacat, hidup berdampingan, bersenda gurau dan bergandengan tangan. Bukan justru SLB-B diberikan pendapat berada ditempat yang salah, akhirnya terjadi gusur-menggusur, meski dengan kata yang lebih santun, menggagas relokasi SLB-B yang lebih representatif. Padahal bersamaan relokasi, di akhir 2009, Disdikpora Bali baru saja merampungkan gedung baru laboratorium bahasa senilai 900 juta-an. Artinya, gedung baru senilai ratusan juta di kawasan SLB-B Jimbaran, hanya akan berusia singkat digunakan.
Menetapkan secara lebih jelas, cara analisis yang lebih menyakinkan masyarakat, adanya analisis instant lahan SLB-B untuk kepentingan bisnis, menyampingkan prestasi dan jerih payah yang sudah dibangun para pendidik, anak-anak autis, tuna rungu dan tuna wicara di SLB-B Jimbaran. Dilain hal, Justru perusahaan swasta dan asing, hotel berbintang di Jimbaran, Kuta dan Nusa Dua memberikan sumbangan materi, pelatihan kerja bahkan memperkerjakan siswa lulusan SLB-B di hotel, patut diacungi dua jempol!. Nampaknya Disdikpora Bali kalah analisis dengan analisis mereka terhadap keberadaan anak-anak SLB di Jimbaran, padahal kita selalu menunjukkan religius dan berbudaya tradisional ketimbang bangsa barat.
Lagipula tak jauh dari gedung SLB-B Jimbaran, juga ada SDN 06. Apakah SDN 06 juga akan dikenakan perihal yang sama? Bagi masyarakat pengguna SLB-B, ini berindikasi sebuah persepsi munculnya nuansa perbedaan yang kental, anak-anak normal dan penyandang cacat itu berbeda dan harus berbeda.
SLB-B sejak 1984, meski pembangunan fisik sebagai salah satu indeks kemajuan sekolah berpredikat Sekolah Pembina Tingkat Nasional ini, masih jauh dari predikatnya, namun pertumbuhan nilai moralitas dan kualitas pendidikannya sudah bergerak sesuai predikatnya di provinsi Bali. Kenapa harus membuat biaya lain, padahal memperbaikinya adalah gagasan yang jauh lebih bersahaja dan bijaksana. Biaya relokasi puluhan milyar yang telah dianggarkan, justru bisa ditekan dan dialihkan untuk peningkatan fasilitasnya yang sudah tersedia di Jimbaran. Tentunya, kita akan angkat topi setinggi-tingginya dengan apa yang telah dilakukan oleh Gubernur Bali dan Disdikpora Bali, tidak hanya menunjukkan simpati tetapi juga empatinya.
Penafsiran sepihak Gubernur, Disdikpora dan Komisi IV DPRD Bali, mendudukkan posisinya seakan orang tua, anak-anak SLB-B dan masyarakat di Jimbaran tidak terlibat langsung, sehingga aspirasi penolakan relokasi tidak dimediasi dengan kearifan dan sikap ‘legowo’ bersosialisi lebih awal. Sebagai berkumpulnya sarjana-sarjana pendidikan di eksekutif dan legistatif, tentunya profesionalitas seorang pendidik dituntut tidak mudah tunduk pada kepentingan dunia materialitas semata.
Sebagai mayoritas Hindu, kita percaya, peran niskala-sekala pada lingkungan dan tanah SLB-B Jimbaran sudah mendukung, adalah anugerah viveka bagi kita. Kalau kita mengingkarinya, rasanya kita telah mengabaikan nyadnya kita pada amanah leluhur yang menitipkan anak-anaknya pada kita di Jimbaran, yang sedang menjalani kehidupan dengan keterbatasan.
Anak-anak SLB-B di Jimbaran sudah memiliki ‘roh’, ada penyatuan spirit dilingkungannya, nyatanya turut andil memberikan nilai-nilai therapist yang kondunsif dan amat diperlukan dalam tumbuh kembang mental anak-anak SLB-B. Kesolidaritasan orang tua, mampu berpikir konstruktif dari keberagaman suku maupun agama, menyatu dari situasi adanya saling membutuhkan, wujud cinta kasih sesama, seakan sudah digariskan oleh Yang Maha Pencipta. Menjadi bukan soal jarak jauh dekat, tetapi nilai humanis yang ingin dipertahankan. Bila saja, di jajaran eksekutif dan legistatif, memiliki nasib anak-anak yang sama dengan anak-anak SLB, pastinya tak akan ragu melakukan perjuangan yang sama.
Maka, relokasi menjadi beban moral dari harmoni yang sudah terlanjur tercipta, akan ada yang terputus sekolah, meski maksimal gedung barunya di Tohpati, belum tentu optimal siswanya berpindah disana. Bila saja, salah satu temannya tidak bersekolah kesana, maka temannya akan kehilangan. Secara psikis, mengganggu emosionalnya, karena bagi mereka, bersekolah, bukan karena keharusan bersekolah. Pemerintah, masyarakat, pendidik dan orang tua yang berkepentingan menyekolahkan mereka.
Anak-anak tahunya hanya ingin bermain, memilih teman dan saling bersahabat, kehilangan satu sahabat, hilang rasa percaya dirinya dan pupus minatnya bersekolah. Perlu berbulan-bulan untuk mengubah dampak pada psikisnya. Relokasi memberikan dampak psikologis anak-anak SLB-B, dipaksa mengikuti adaptasi lingkungan baru di Tohpati yang jauh berbeda dengan kenyamanan di Jimbaran yang sudah tercipta kondusif dengan luas lahan yang memenuhi manfaat therapis bagi tumbuh kembang anak bertahun-tahun.
Satu hal yang dikesampingkan dari perhatian Gubernur dan Disdikpora Bali, bahwa Infrastruktur yang dibangun dengan konsep lahan di Jimbaran, diperhitungkan anak-anak bisa terhindar dari bahaya gempa bumi, karena anak SLB akan bereaksi lamban ketika ancaman gempa bumi datang. Di Jimbaran, luas taman sebagai areal terbuka ada disetiap gedung satu sama lain saling berjauhan. Setiap gedung sangat minimalis, tidak berliku, memiliki banyak pintu dan jendela keluar. Berbeda di gedung sekolah umum, meminimalisasi areal terbuka, bertingkat, berliku, pintu keluar sempit dan tersembunyi, siswa mudah terjebak didalam gedung ketika dalam keadaan panik.
Terkesan Disdikpora Bali tampak terjebak pada distorsi visi dan misi atasannya sendiri, perannya sebagai Pembina SLB-B, yang memahami betul kualitas prestasi tumbuh-kembang yang sudah terbangun disana, kenapa harus disampingkan, membiarkan lahan SLB-B menjadi pemanfaatan lahan yang insidensial, dan ‘menganugerahi’ SLB-B tidak representatif. Gedung representatif ala Gubernur Bali di Tohpati belum bisa menjamin terciptanya harmoni yang sudah terbangun di Jimbaran. Sedemikian pentingkah lahan itu untuk ditinggalkan, dan adakah suara hati nurani yang lebih pantas, untuk menggantikan SLB-B di Jimbaran.
Kita yakin pemerintah provinsi dan wakil rakyat di DPRD Bali masih malu juga setengah hati berterus terang tentang hal ini. Cerminan tradisi pemerintahan daerah kita, berada pada posisi defensif berhadapan dengan kecenderungan budaya-spiritual Hindu dan moderenis. Ini merupakan cerminan fakta, bahwa otonomi daerah belum tercapai dibidang budaya dan spiritual.
Jika pada konsep Tri Hita Karana, masyarakat diminta menjalankan dengan kepekaan hati, dengan rasa, sedangkan pemerintah sebaliknya, diminta lebih rasional, bijaksana dan selalu adil. Relokasi ke Tohpati, cenderung menonjolkan nostalgia di Jimbaran, ketimbang pendapat representatif yang dimaksud.
ORANG TUA MURID SLB-B JIMBARAN UNTUK SARASEHAN HINDU NUSANTARA