Om Swastyastu,
Untunglah bahwa saat ini banyak umat yang mau membuaka diri untuk terus melakukan perubahan dan perbaikan tradisi. Prosesi ngaben bukan hal yang ingin diperkarakan, namun yang mesti kembali dibahas adalah tuduhan ‘Eklusifisme’ setra yang saat ini tentunya diharapkan tidak lagi mengklaim diri sebagai satu-satunya jalan bagi umat menuju kematian.
Benarkah (maaf), jalan menuju kematian umat Hindu Bali dilaksanakan dengan kekeliruan pandangan dalam menjalankan tradisi budayanya sendiri? Apakah banyak kejadian peristiwa prosesi penguburan yang dilakukan atas nama ajaran filosofi budaya yang sebenarnya justru tak sejalan dengan agama dan budayanya itu sendiri.
Karena itu, kita harus berusaha menciptakan kondisi siapapun umat, terlepas peristiwa kematiannya (apapun), dosa atau kesalahan yang dibuat semasih hidup, maupun hutang terhadap kewajibannya mebanjar, hendaknya tetap mendapatkan derajat proses penguburannya.
Karena persoalan yang sekiranya belum terselesaikan selama hidupnya semestinya tetap dapat dilakukan oleh keluarganya tanpa dengan sikap mengkondisikan jenazah dengan perlakuan ketidakmanusiawian, seolah agar dilihat sebagai hukuman yang harus dijalankan dan dijadikan tontonan semua umat. Kita tak boleh berpandangan untuk mengubah hak seseorang dengan menjadikan diri kita sendiri sebagai ‘eksekutor bagi jenazahnya’. Karena hukum bagi jenazah dimanapun menjadi hak dan kewajiban keluarganya dan pantas untuk dikuburkan menurut keputusan keluarganya dengan mengikuti aturan agama yang dianut sebagai aturan tertinggi, kemudian aturan-aturan lainnya yang tidak merendahkan aturan agamanya
Untunglah bahwa saat ini banyak umat yang mau membuaka diri untuk terus melakukan perubahan dan perbaikan tradisi. Prosesi ngaben bukan hal yang ingin diperkarakan, namun yang mesti kembali dibahas adalah tuduhan ‘Eklusifisme’ setra yang saat ini tentunya diharapkan tidak lagi mengklaim diri sebagai satu-satunya jalan bagi umat menuju kematian.
Benarkah (maaf), jalan menuju kematian umat Hindu Bali dilaksanakan dengan kekeliruan pandangan dalam menjalankan tradisi budayanya sendiri? Apakah banyak kejadian peristiwa prosesi penguburan yang dilakukan atas nama ajaran filosofi budaya yang sebenarnya justru tak sejalan dengan agama dan budayanya itu sendiri.
Karena itu, kita harus berusaha menciptakan kondisi siapapun umat, terlepas peristiwa kematiannya (apapun), dosa atau kesalahan yang dibuat semasih hidup, maupun hutang terhadap kewajibannya mebanjar, hendaknya tetap mendapatkan derajat proses penguburannya.
Karena persoalan yang sekiranya belum terselesaikan selama hidupnya semestinya tetap dapat dilakukan oleh keluarganya tanpa dengan sikap mengkondisikan jenazah dengan perlakuan ketidakmanusiawian, seolah agar dilihat sebagai hukuman yang harus dijalankan dan dijadikan tontonan semua umat. Kita tak boleh berpandangan untuk mengubah hak seseorang dengan menjadikan diri kita sendiri sebagai ‘eksekutor bagi jenazahnya’. Karena hukum bagi jenazah dimanapun menjadi hak dan kewajiban keluarganya dan pantas untuk dikuburkan menurut keputusan keluarganya dengan mengikuti aturan agama yang dianut sebagai aturan tertinggi, kemudian aturan-aturan lainnya yang tidak merendahkan aturan agamanya
Sadar bahwa ‘Eklusifisme Setra’ yang mengakui adanya elemen-elemen tradisi adat istiadat dalam prosesi kematian hingga penguburan yang ditegaskan dalam berbagai pengalaman peristiwa masa lalu hingga sekarang, tabu dan ketat dengan syarat, dan masalahnya, itu (kadang) tidak selalu (harus) masuk akal. Dilain hal, ada umat Hindu berdomisili di Bali berasal dari suku budaya berbeda, atau mereka yang karena suatu hal terpaksa terlepas haknya dari lingkungan adat istiadat, terlintas pertanyaan bagaimana bila kematian tiba? Dikubur dimana? Apakah masih ada sebidang tanah di setra adat yang bisa didapat hanya dengan mengurus administratif saja?
Kini kita sampai pada kesimpulan sederhana bahwa pemahaman dan pemikiran umat tentang prosesi upacara kematian, hingga sekarang ada yang menimbulkan implikasi sosial. Meski cukup jelas bahwa tuduhan ‘eksklusivisme’ setra, tidaklah bermaksud demikian, mengingat tetap ada nilai-nilai ajaran tatwa, susila dan ritual yang diyakini, justru perkaranya ada diluar kerangka filosofi ritualnya, melekat pada pelaksanaannya yang rentan dan potensial menciptakan sikap ‘menghakimi’ seseorang dengan perbedaan syarat dan batasan perlakuan prosesi penguburan, artinya kita diminta mengembalikan aneka mekanisme ‘politik adat’, sosial, ekonomi dan hukum yang telah menyimpang untuk masuk kedalam porosnya semula dibawah kendali agama yang mengatur keadilan dan kemanusiaan. Gagasan mempertimbangkan adanya krematorium sebagai upaya alternatif, berdiri resmi diluar kekuasaan wilayah adat, meski bukan menginginkan menggeser sebuah tradisi toleransi, bisa saja diabaikan bila kita mampu keluar dari bayang-bayang ‘Eklusifisme’ itu, serta harus rendah hati untuk jangan sampai mengira bahwa segalanya logis dan rasional tetapi justru tak dapat dipecahkan sama sekali. Tetap manusiawi dilakukan dengan tradisi pengabenan tradisional, justru ketidak manusiawiannya berada pada kekeliruan yang mengabaikan derajat seorang jenazah. ‘Leteh atau dianggap mengotori’, jelas kewajiban moral yang seharusnya dengan kesadaran iman dan bhakti pada Hyang Maha Mulia membantunya melepaskan ‘leteh’ dengan menyucikan dan menempatkan jenazah pada derajat yang semula.
Kebalikannya tuduhan ‘sikap menggeser tradisi ngaben ke tradisi krematorium’ berikut dengan referensi ritual pitra yadnya dianggap sebagai upaya melunturkan nilai-nilai historis dan toleransi tradisi budaya masyarakat. Kekhawatirannya, apalagi destruksi yang bersifat sosial bisa beralasan, namun sesungguhnya bila diapresiasi dengan baik niscaya membawa pada sikap hidup terbuka terhadap berbagai pemahaman, yang gilirannya bermuara pada penerimaan hidup ditengah pluralisme.
Karena itu, dialog menyederhanakan dan melaksanakan ritual pitra yadnya di krematorium akan tetap memiliki rujukan atau referensi historis dan ajaran agama, bukan sebagai upaya melemahkan tradisi budaya setempat apalagi sekedar mentransformasikan peradaban ke cara pandang budaya modern. Agaknya sulit mencari rumusan yang lebih jelas tentang pengakuan dan jaminan keabsahan pelaksanaan ritual pitra yadnya hingga pada tirta yang harus berasal dari kahyangan tiga, pura-pura sad kahyangan, kawitan, pedharman atau tirta dari sulinggih di gerianya, sebenarnya adalah cukup mewakili dan sejujurnya memiliki hakikat yang sama, sama-sama rumah ibadah, rumah persemayaman leluhur dan perwakilan Tuhan dengan segala manifestasinya.
Dengan sikap inklusivisme menerima kenyataan hidup pluralisme, maka dialog bisa dibangun dan akan sangat nyaman dirasa, kata lainnya, masing-masing pihak tidak harus merasa menahan diri, masing-masinglah yang akan mengambil posisi yang secara moral dan teologis sama-sama akan kita pertanggung-jawabkan kehadapan Hyang Widhi Wasa. Maka bila diakuinya krematorium yang berdiri sendiri, umat yang tidak terwakili di setra adat memperoleh pula pengakuan dan jaminan melaksanakan ibadah prosesi kematian berdasarkan ajaran agama.
Gagasan crematorium tentunya tak harus selalu sama dengan yang dimiliki sebagaimana umat lain, dibangun dengan inspirasi candi dan konsep arsitektural tradisi Hindu di Nusantara. Namanya tak perlu istilah krematorium tetapi menjadi (Panti) Antaka Loka?
Rahayu, Salam Dharma!. Indra Prabudjati (sebagaimana dituliskan untuk majalah Hindu Raditya)